Jumat 23 Aug 2019 06:47 WIB

GINSI Minta Pemerintah Hapus Biaya Verifikasi Importir

Proses verifikasi terhadap importir dilakukan lembaga survei yang ditunjuk pemerintah

Ekspor Impor (ilustrasi)
Foto: Republika
Ekspor Impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) mengimbau Pemerintah tidak memberatkan importir nasional dengan pungutan biaya verifikasi. Biaya verifikasi ini dipungut oleh lembaga survei yang ditunjuk Pemerintah pada proses verifikasi kepada para importir.

Ketua Umum BPP GINSI Anton Sihombing mengatakan, proses verifikasi terhadap para importir dilakukan oleh lembaga survei yang ditunjuk Pemerintah melakukan pungutan biaya verifikasi yang dinilai memberatkan. "Kami para importir memohon perhatian serius dari Pemerintah soal adanya pungutan biaya verifikasi, jangan sampai memberatkan. Soal verifikasi dan biayanya ini, sebaiknya dibuat kesepakatan lebih dulu antara Pemerintah dan GINSI," katanya, Kamis (22/8).

Baca Juga

Pada kesempatan tersebut, Anton mengatakan, GINSI menghargai dan mengapresiasi perhatian Pemerintah terhadap kerja para importir. Namun, proses verifikasi yang dilakukan oleh lembaga survei yang ditunjuk Pemerintah, harus menjadi perhatian ekstra.

"Biaya verifikasi ini hendaknya ditinjau ulang, karena dinilai sangat memberatkan importir. Apalagi biaya verifikasi itu, tidak ada dasar kesepakatannya antara GINSI dan Pemerintah," katanya.

Ketua Umum BPP GINSI periode 2017-2022 ini menyatakan, sesuai amanah Peraturan Menteri Perdagangan, bahwa verifikasi importir harus melibatkan GINSI. Dalam aturan tersebut juga mengatur bahwa Pemerintah harus memberi insentif sebagai perangsang kepada importir yang mengimpor bahan baku untuk kebutuhan industri dalam negeri, meskipun akhirnya juga diekspor.

"Insentif ini agar importir lebih bergairah," katanya.

Menurut dia, Pemerintah juga harus terus memantau tarif di pelabuhan, termasuk biaya-biaya yang dibebankan kepada importir, agar dikaji kembali, karena dinilai kurang bermanfaat.

Anton juga merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 tahun 2017, bahwa penetapan tarif di pelabuhan utama Tanjung Priok Jakarta, harus melibatkan minimal lima asosiasi, yakni GINSI, GPEI, ALFI,INSA, dan APBNI. "Ini berarti jika GINSI tidak dilibatkan, maka keputusan itu dianggap tidak sah," katanya.

Anton menegaskan, sebagai pimpinan pusat GINSI ia punya komitmen mendukung program Pemerintah, demi kepentingan masyarakat. Karena itu, kata dia, GINSI Pusat akan berupaya melindungi importir sehingga mendapatkan biaya ringan, bukan memberatkan, sehingga harga harga produk yang diimpor tidak mahal.

"Kalau ada pengurus GINSI yang melanggar peraturan akan segera diambil tindakan tegas, bahkan bila perlu disampaikan kepada pihak yang berwajib,” kata Anton.

Anton berharap, Kementerian Perindustrian juga diberi keleluasaan membuka dan mengembangkan industri lokal maupun internasional di seluruh pelosok Indonesia "Artinya, industri skala kecil, menengah, dan besar, harus dibangun di sentra-sentra ekonomi di seluruh Indonesia, baik untuk kebutuhan konsumen dalam negeri maupun ekspor," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement