Senin 22 Jul 2019 06:51 WIB

Pengamat: Intervensi Pemerintah ke Maskapai Terlalu Dalam

Sejak 2001 konsumen sudah dimanjakan dengan tarif promo tiket pesawat tak masuk akal

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Tiket pesawat
Foto: Republika
Tiket pesawat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat penerbangan Arista Atmadjati menilai, intervensi pemerintah terhadap maskapai sudah terlalu dalam. Arahan pemerintah agar maskapai berbiaya hemat (Low Cost Carrier/LCC) menurunkan tarif tiket pada hari tertentu hingga 50 persen terkesan bahwa pemerintah hanya mendengarkan keluhan masyarakat.

Di sisi lain, maskapai penerbangan berpotensi bangkrut sebagai dampaknya. Arista menuturkan, tarif tiket yang diterima masyarakat selama 17 tahun belakang justru tidaklah benar.

Baca Juga

Sejak LCC dikenalkan di Indonesia pada 2001, industri sudah memanjakan konsumennya dengan tarif promo yang tidak masuk akal. "Bahkan, harganya terkadang lebih murah dibandingkan naik kereta eksekutif," ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (21/7).

Selama 17 tahun menggunakan konsep tersebut, Arista menjelaskan, maskapai LCC terus merugi. Hingga akhirnya pada 2018, mereka ingin memperbaiki struktur tarif dan tidak ingin bermain di promo lagi. Kebijakan ini membuat tarif tiket naik dan disambut masyarakat dengan berbagai reaksi, terutama kontra.

Arista menyebutkan, tarif tiket yang ditawarkan pada 2018 hingga tahun ini merupakan titik normal baru dan wajar. Hanya saja, maskapai menerapkannya terlalu mendadak dan tanpa sosialisasi. "Itu kekurangan maskapai," tuturnya.

Selain itu, Arista menambahkan, maskapai juga hanya menerapkan single class tanpa varian harga seperti tahun belakang. Kebijakan ini patut dipertimbangkan kembali karena menyebabkan masyarakat tidak memiliki banyak pilihan. Setidaknya, maskapai dapat menawarkan tiga kelas dengan perbedaan tarif 10 hingga 20 persen tiap kelas.

Terlepas dari evaluasi maskapai, Arista menegaskan, reasi pemerintah sudah terlalu dalam. Arahan mereka untuk menurunkan 50 persen tarif tiket dapat mencegah maskapai LCC mendapatkan keuntungan. Padahal, sudah sejak lama, 'rapor' maskapai sudah merah dan butuh perbaikan.

Arista menyebutkan, saat ini, maskapai LCC hanya bisa mendapat margin keuntungan sekitar tiga persen dan kerap kali kurang. Padahal, tingkat normalnya adalah tiga kali lipat dari itu. "Normalnya 10 persen," ujarnya.

Arista menilai, arahan pemerintah ini sudah seharusnya diimbangi dengan diskon kepada maskapai dari pemberian insentif pajak, navigasi hingga operator bandara. Biaya sewa terminal untuk LCC pun sebaiknya dibedakan dengan maskapai lain.

Saat ini, insentif baru diberikan dengan tidak memungut PPN atas impor dan penyerahan kapal, pesawat hingga suku cadangnya. Insentif tersebut disampaikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (4/7) dan diundangkan pada Senin (8/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement