Sabtu 20 Jul 2019 09:41 WIB

BI Prediksi Perang Dagang Sampai Pilpres AS

Negara berkembang perlu strategi stimulus pertumbuhan akibat perang dagang.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nur Aini
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kiri) bersama Senior Deputi BI Mirza Adityaswara (kanan) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI dihadapan wartawan di gedung BI, Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kiri) bersama Senior Deputi BI Mirza Adityaswara (kanan) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI dihadapan wartawan di gedung BI, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Perang dagang yang mengganggu tatanan ekonomi global sejak dua tahun terakhir diperkirakan masih akan berlanjut hingga 2020. Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo menyampaikan setidaknya kondisi perlambatan karena perang dagang akan terjadi hingga pemilihan umum presiden Amerika Serikat. 

"Selama ini kita mengira (perang dagang) ini adalah alat (Donald) Trump untuk maju lagi election," kata Dody saat menyampaikan perkembangan ekonomi nasional di Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/7).

Baca Juga

Saat ini kondisi perdagangan global menurun sehingga negara-negara berkembang perlu strategi untuk menambah stimulus pertumbuhan. Hal itu menjadi salah satu alasan BI menurunkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli 2019 menjadi 5,75 persen. Kebijakan tersebut terkait dengan kebijakan-kebijakan BI sejak tahun-tahun sebelumnya. Dengan memotong suku bunga di saat yang tepat, maka tidak akan mempengaruhi transaksi modal malah menambah aliran modal masuk lebih banyak.

"Maka kita lihat setelah penurunan, nilai tukar cenderung menguat, kita lihat sudah mendekati Rp 13.800 per dolar AS," katanya.

Dody menambahkan, kunci dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi dan investasi. Dua komponen tersebut dapat bersama didorong dari menggenjot ekspor. Apalagi, beberapa negara terbukti mendapat keuntungan dari perang dagang dari sisi peningkatan ekspor. Mereka adalah negara-negara yang meningkatkan produksi dalam negeri seperti Vietnam dan Filipina.

Ekonom Core Indonesia, Hendri Saparini menyampaikan upaya Indonesia menggenjot ekspor tidak bisa maksimal jika tidak dilakukan revitalisasi industri. Struktur ekspor harus dibedah ke akarnya agar stimulus kebijakan pemerintah bisa berefek masif. Secara umum, pemerataan ekonomi juga berperan. Menurutnya, transformasi ekonomi tidak bisa melupakan struktur tenaga kerja, sumber daya ekonomi, dan lainnya. Saat permintaan naik maka produksi juga harus naik. 

"Jika tidak malah menyuburkan impor karena permintaan harus terpenuhi," katanya. Salah satu contoh, industri 4.0 saat ini belum cukup merangkul pemain eksisting agar mereka tetap bertahan. Pada akhirnya, akan ada industri yang mati saat teknologi tidak menggandeng industri yang sebelumnya sudah ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement