Kamis 04 Jul 2019 18:14 WIB

Ekonom: Sanksi DHE Harus Disertai Kemudahan Swap Mata Uang

Eksportir yang tidak melaporkan devisa hasil ekspor ke bank nasional terkena sanksi

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petugas beraktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1). Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan mengatur Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sumber daya alam pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia (SKI)
Foto: Galih Pradipta/Antara
Petugas beraktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1). Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan mengatur Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sumber daya alam pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia (SKI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menerapkan sanksi bagi para eksportir komoditas yang tidak melapor dan menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Sanksi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98 Tahun 2019.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho menilai, pengetatan aturan tersebut harus disertai dengan kemudahan prosedur bagi eksportir ketika ingin mengkonversi DHE SDA dalam mata uang asing ke mata uang rupiah. Begitu pun sebaliknya.

Baca Juga

"Sanksi memang wajar diberikan kepada mereka dan tidak masalah. Tapi, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia juga harus mempermudah proses peralihan DHE SDA ke dalam rupiah. Itu dulu dipermudah," kata Andry kepada Republika.co.id, Kamis (4/7).

Andry mengatakan, para eksportir juga harus mendapatkan kepastian dan keamanan jika menarik DHE SDA ke Indonesia. Termasuk, ketika akan kembali menggunakan DHE SDA untuk kembali melakukan ekspor komoditas. Ia menilai, tanpa adanya kemudahan itu, wajar jika selama ini banyak eksportir yang menyimpan DHE SDA di luar negeri. Khususnya di Swiss, Hongkong, dan Singapura.

Sebab, dengan menaruh DHE SDA di ketiga negara tersebut, eksportir relatif lebih mudah dalam menggunakan devisanya untuk berbagai instrumen investasi. Selain itu, DHE SDA yang masih dalam bentuk dolar juga cenderung lebih mudah untuk kembali digunakan mengekspor komoditas.

"Ini pekerjaan rumahnya. Memang kalau DHE SDA sepenuhnya dikembalikan ke Indonesia itu akan meningkatkan cadangan devisa kita," kata dia.

Dengan jumlah devisa yang kuat, maka Bank Indonesia yang bertugas untuk melakukan stabilitasi rupiah juga dapat lebih memiliki ruang untuk menjaga nilai rupiah.

"Kita kan selama ini banyak ekspor tapi keuntungannya tidak sepenuhnya kembali ke dalam negeri karena DHE SDA tidak kembali sepenuhnya. Inilah harusnya yang ke depan bisa digunakan," ujar dia.

Seperti dikutip dari laman setkab.go.id, DHE SDA wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia oleh eksportir yang bersangkutan melalui bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valas.

"Penempatan DHE SDA dilaksanakan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor," demikian bunyi dari PMK tersebut.

DHE SDA yang dimasukkan oleh eksportir yang bersangkutan tetap dapat digunakan untuk pembayaran bea keluar, pinjaman, impor, keuntungan atau dividen, serta keperluan lain untuk penanaman modal. Bagi eksportir yang ingin menggunakan DHE SDA tersebut, dapat melakukannya dengan cara escrow account pada bank yang bersangkutan.

Mengenai sanksi, PMK tersebut menyebutkan, eksportir yang tidak melakukan pelaporan penempatan DHE SDA ke dalam rekening khusus di bank yang bersangkutan akan dikenakan denda sebesar 0,5 persen dari nilai DHE SDA yang belum dilaporkan tersebut.

Sementara itu, bagi eksportir yang kedapatan menggunakan DHE SDA di luar ketentuan seperti yang telah disebutkan, maka dikenakan denda 0,25 persen dari nilai DHE SDA.

Denda tersebut bakal disetor ke Kas Negara sebagai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal itu telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai PNBP.

Menurut PMK ini, Kepala Kantor Pabean akan melakukan perhitungan denda tersebut dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan adanya pelanggaran.

Selanjutnya, apabila eksportir yang didenda ternyata tidak membayar dalam jangka waktu 30 hari, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bakal menempuh tiga langkah. Pertaman,  menerbitkan surat penyerahan tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya.

Kedua, mengenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor. Ketiga, menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.

“Hasil pengawasan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukkan bahwa Eksportir telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor,” sebut PMK tersebut dalam Pasal 12.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement