Senin 01 Jul 2019 05:30 WIB

Pelaku Bisnis Rasakan Dampak Positif Penerapan Wisata Halal

Jumlah wisatawan muslim global cukup besar

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Meski Kementerian Pariwisata (Kemenpar) masih menyusun panduan penyelenggaraan pariwisata halal, sejumlah sektor bisnis pariwisata sudah mengambil langkah inisiatif menjemput rezeki dari aspek wisata halal. Dari sejumlah sektor bisnis wisata, pelaku bisnis yang menerapkan aspek halal mengaku merasakan dampak positif dari penerapan halal tersebut.

Di sektor perhotelan, misalnya, General Manager Hotel Rhadana Bali Budiman mengaku melihat dampak yang sangat positif dari penerapan halal pada pelayanan hotelnya. Terhitung sejak 2012 berdiri, Hotel Rhadana terus mendapatkan respons positif dari penerapan aspek halal meski lokasi berdirinya hotel dikelilingi oleh hotel-hotel nonhalal.

Baca Juga

“Justru karena kami sudah lakukan sertifikasi halal, wisatawan banyak yang berkunjung ke sini. Prospeknya bagus sekali (wisata halal),” kata Budiman saat dihubungi Republika, Ahad (30/6).

Berbeda dari destinasi wisata di Mandalika maupun Aceh, destinasi wisata Bali memang identik dengan wisata modern non-halal. Sehingga hal tersebut dinilai justru menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, sebab daya tarik Bali sebagai destinasi global yang mendunia juga diminati tak hanya oleh para wisatawan non-Muslim.

Apalagi, kata dia, wisatawan Muslim global berjumlah cukup besar. Sehingga dia menyebut, penerapan aspek halal akan terus dikembangkan mulai dari fasilitas tempat ibadah, jaminan makanan dan minuman halal, serta peniadaan hal-hal yang berbau haram dan dilarang dalam syariat Islam.

Berbeda dengan konsep wisata syariah, Budiman mengaku pihaknya lebih memfokuskan pemasaran melalui konsep halal modern hotel. Dia menilai, aspek syariah cenderung konvensional dan lebih eksklusif sehingga cenderung berbelit dalam pengaplikasian terhadap para calon wisatawan yang berkunjung.

“Kalau hotel syariah itu kan mereka agak ribet. Misalnya saja dokumen-dokumen pengunjung benar-benar harus dipastikan dia Muslim atau tidak, dan lain sebagainya. Sedangkan kalau konsep halal tidak serumit itu,” kata dia.

Kendati demikian, pihaknya tidak mengesampingkan aspek halal yang diterapkan mulai dari hulu ke hilir. Misalnya saja, sejak dari proses sertifikasi dan dilakukan pemantauan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), konsistensi kehalalan hotelnya dapat dipastikan akan terus berkelanjutan.

Bukti dari keseriusannya dalam menggarap potensi wisata halal tersebut terlihat dengan adanya jumlah peningkatan pengunjung ke hotelnya dari tahun ke tahun.

Dia mencontohkan, dengan pelayanan yang konsisten serta keramahtamahan, para pengunjung yang pernah menggunakan jasa hotelnya justru akan mengabarkan sendiri dari mulut ke mulut tentang Hotel Rhadana. Sehingga tak ayal, pihaknya kerap mendapatkan pelanggan tetap yang rutin berkunjung dalam masa-masa liburan tertentu.

“Dari Turki, Eropa, Timur Tengah, Australia, bahkan Amerika Serikat mereka semacam punya komunitas Muslimnya. Sehingga hotel kami direferensikan sendiri di kalangan komunitas tersebut,” kata Budiman.

Senada dengan Budiman, Sekretaris Jenderal Cheria Tour Cheriatna mengatakan terdapat peningkatan sektor bisnis perjalanan wisata yang cukup menjanjikan dari konsep halal yang sudah dimulainya. Meski, hal tersebut menurut dia belum sepenuhnya dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi domestik yang cukup membaik.

Kendati demikian dia menjabarkan, melalui strategi kreatif utamanya di bidang marketing digital, kelebihan bisnis perjalanan wisata halal mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan Muslim, bahkan non-Muslim.

“Menariknya, justru peningkatan wisatawan halal ini diisi juga oleh yang non-Muslim,” kata dia.

Menurutnya, berdasarkan hasil penerapan pelaksanaan wisata halal yang dilakukan, terdapat antusiasme yang cukup besar dari konsumen. Hal itu, kata dia, wisata halal dianggap merupakan kebutuhan dasar wisatawan sebagai pemeluk suatu kepercayaan dan juga menjaga nilai tradisi.

“Kebutuhan itu kan penting ya. Apalagi ini menyangkut menu makan, waktu shalat, tempat yang halal dalam melakukan wisata,” kata dia.

Pelaku bisnis lainnya di bidang spa, Muhammad Asyhadi mengatakan, stigma negatif dalam bisnis spa dan relaksasi mulai terhapus dengan sendirinya dengan branding halal yang sudah dijalankan.

Menurut dia, selain memberikan kenyamanan serta jaminan halal terhadap konsumen, pihaknya juga dapat mengedukasi masyarakat bahwa sektor spa dan relaksasi merupakan bagian dari kesehatan dan pariwisata, bukan sektor hiburan.

“Makanya, kita selalu pastikan bahwa spa itu bukan identik dengan pijat plus plus. Di Jakarta misalnya, dengan penutupan Hotel Alexis, perkembangan spa halal sudah mulai bertumbuh,” kata dia.

Menurut dia, aspek halal dalam bisnis spa yang diterapkan juga mengatur konsep syariah. Misalnya, dalam ruangan spa pihaknya tidak menyediakan pekerja spa melayani pelanggan yang berbeda gender.

Selain itu, pihaknya juga meniadakan atribut yang identik dengan kemusyrikan seperti adanya patung-patung di ruangan spa. Menurut dia, dengan penerapan aspek halal yang dilaksanakan dari hulu ke hilir, pihaknya merasakan betul terdapat peningkatan pendapatan.

Dia berpendapat, bisnis wisata halal seperti spa secara tidak langsung berkolerasi terhadap pendapatan dalam bisnis yang digelutinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement