REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan pariwisata halal bukan hanya dikembangkan oleh negara-negara Muslim di dunia. Beberapa negara-negara nonMuslim turut serta mengembangkan potensi halal tersebut guna menggaet pengunjung Muslim ke negaranya. Sehingga istilah Islamisasi pada wisata halal dinilai tidak tepat.
Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal (PPHI) Riyanto Sofyan mengatakan, pariwisata halal merupakan brand internasional yang menyasar para wisatawan Muslim di seluruh dunia. Mengaitkan pariwisata Halal dengan Islamisasi maupun Arabisasi merupakan hal yang cenderung rasis. Sebab, wisata halal merupakan kebutuhan global dan berpotensi besar mendatangkan devisa bagi negara.
"Membangun brand dan mensosialisasikan wisata halal di Indonesia ini bukan perkara enteng. Jangan dirusak hanya untuk kepentingan jangka pendek dan politik praktis," kata Riyanto dalam keterangan pers yang diterima Republika, Ahad (30/6).
Menurut dia, istilah pariwisata halal justru banyak digunakan oleh negara-negara yang mayoritas nonMuslim. Tujuannya untuk mendatangkan wisatawan muslim mancanegara, seperti warga Malaysia, Singapura, Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia. Hal itu dilakukan agar wisatawan Muslim tetap nyaman berwisata dan tidak melanggar larangan agama, terutama saat makan dan minum.
Pariwisata halal, kata Riyanto, juga dilengkapi dengan fasilitas untuk ibadah, seperti mushala, tempat wudhu, arah kiblat, dan berbagai fasilitas penunjang wisata bagi kaum Muslim saat melancong ke suatu tempat. Dia menjelaskan, kata halal sendiri berasal dari bahasa Arab, dan kata itu berlaku di seluruh dunia. Bahkan, kata dia, saat ini Jepang, Korea, Thailand, Filipina, tengah gencar mengkampanyekan makanan halal sebagai gaya hidup berwisata.
"Jadi ini semacam extended services and facilities for Muslim travelers," kata dia.
Dia mencontohkan, kata halal juga mirip dengan branding vegetarian untuk wisatawan asal India. Karenanya, istilah halal tersebut sudah merupakan Branding bagi kebutuhan wisatawan Muslim di waktu berwisata.
“Misinya pariwisata, mendatangkan devisa buat negara, menggerakkan ekonomi lokal, mendorong trade and investment,” kata Riyanto.
Sebelumnya diketahui, Menteri Pariwisata Arief Yahya dan Bupati Banyuwangi Azwar Anas dituding menerapkan Arabisasi dan Islamisasi lewat konsep pariwisata halal oleh sejumlah kalangan di Banyuwangi, beberapa waktu lalu. Dia menambahkan, menghormati budaya dan tradisi lokal merupakan bagian dari kode etik pariwisata dunia yang telah diratifikasi oleh UNWTO.
Sehingga, kegiatan pariwisata harus menghorati budaya dan nilai lokal dan tidak meresahkan masyarakat sekitar atraksi di destinasi yang dituju. Sehingga konsep pariwisata halal bukanlah upaya untuk mengucilkan tradisi lokal maupun agama tertentu di suatu destinasi wisata.
Di sisi lain Riyanto menjelaskan, potensi wisatwan Muslim cukup besar. Misalnya, Muslim yang berasal dari kawasan Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura jika aiakumulatifkan sama dengan jumlah wisatawan yang berasal dari Cina.
"Bahkan jauh lebih besar baik dari segi jumlah Outbond Tourist-nya maupun pengeluarannya selama berwisata,” ujarnya.
Sehingga, kata dia, wisata halal tersebut bukan hanya sekadar ceruk pasar baru akan tetapi sudah merupakan pasar utama sumber wisatawan mancanegara yang bisa dikembangkan. Menurut dia, Indonesia sejatinya juga ingin mengambil segmen pasar ini yang belum digarap secara optimal guna mendatangkan lebih banyak devisa.
Dengan adanya rencana Kementerian Pariwisata (Kemenpar) untuk menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Halal adalah upaya agar ada acuan bagi pelaku usaha dan pihak terkait dalam pemenuhan kebutuhan wisatawan Muslim.
"Harapannya dengan itu wisatawan Muslim mancanegara diharapkan datang berbondong-bondong ke Indonesia lantaran tersedianya kebutuhan mereka selama berwisata di Indonesia. Maka, antara ekspektasi wisatawan muslim dan deliverable-nya sesuai," katanya.
Untuk itu Riyanto meminta agar Kemenpar terus konsisten mengembangkan semua pasar potensial pariwisata untuk berkunjung ke tanah air, termasuk wisata halal yang semakin memiliki reputasi. Dengan adanya penjaminan kepuasan para wisatawan, hal itu sebagaimana yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 terntang perlindungan konsumen.
"Jadi enggak ada yang ilegal tentang pariwisata halal," katanya.
Ketua Tim Percepatan Wisata Budaya Kemenpar Taufik Rahzen enggan menanggapi tafsiran sejarah soal Osing dan Banyuwangi. Karena hal itu dianggap Taufik hanya akan memperkeruh suasana serta menjadi bahan polemik sejarah yang tidak produktif.
“Apa yang sudah dilakukan Pak Menteri Arief Yahya terhadap wisata halal itu melampaui pengertian untuk orang Islam. Mencakup kebutuhan pencinta vegetarian, penghormatan budaya lokal, keunikan pengalaman beragama, festival bermakna yang dimiliki oleh semua agama,” katanya.
Pihaknya sepakat, intisari wisata halal itu pada makanan dan fasilitas untuk ibadah di atraksi maupun destinasi, seperti mushala, tempat wudhu, arah kiblat, dan lainnya. Menurut dia, hal itu pula yang dilakukan di belahan bumi lain, saat mengembangkan pariwisata halal.