REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara memastikan, pemerintah terus melakukan kajian terhadap alternatif kebijakan yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi. Tidak terkecuali rencana penurunan pajak penghasilan (PPh) badan atau perusahaan dari semula 25 persen menjadi 20 persen.
Dalam exercise yang sudah dilakukan Kemenkeu, Suahasil menjelaskan, termasuk menghitung estimasi besaran dampak dari penurunan PPh badan. Tapi, ia enggan menyebutkan secara mendetail dampak yang dimaksud.
"Yang pasti, kita terus melihat potensi kapan akan dilaksanakan. Semua masih terus dipikirkan," ujarnya ketika ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/6).
Suahasil menuturkan, pemerintah terus mempertimbangkan berbagai aspek apabila kebijakan ini akan segera diterapkan. Termasuk memastikan bahwa penerimaan dan pengeluaran negara dapat terus berjalan sepadan. Tidak hanya dalam kurun waktu satu tahun, juga beberapa tahun mendatang.
Pemerintah juga turut memasukkan pertumbuhan ekonomi domestik dan kondisi ekonomi makro global dalam pertimbangan exercise ini. Suahasil mengatakan, pemerintah tentu berharap konstelasi ini dapat memperkuat dampak positif dari arah kebijakan pemerintah.
Terlepas dari berbagai pertimbangan, Suahasil menjelaskan, arah kebijakan untuk menurunkan PPh badan menjadi 20 persen dapat hampir dipastikan. "Sudah sesuai dengan yang disampaikan Ibu (Sri Mulyani) kemarin (saat rapat terbatas di Istana Negara)," ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan, penurunan tarif PPh badan sangat dimungkinkan seiring dengan perluasan basis pajak pasca tax amnesty, berlakunya Automatic Exchange of Information (AEoI) dan peningkatan pengawasan wajib pajak. Tapi, penurunan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak penurunan penerimaan dalam jangka pendek.
Secara umum, Yustinus menambahkan, tarif pajak yang kompetitif dapat menjadi perangsang bagi investor untuk menginvestasikan dananya di Indonesia. Hanya saja, belum terdapat bukti empirik yang kuat bahwa penurunan tarif PPh berkorelasi positif dengan kenaikan tax ratio.
"Indonesia sendiri pernah menurunkan tarif pajak tahun 2000 dan 2008, dan tidak diikuti peningkatan rasio pajak secara signifikan," ujarnya.
Yustinus menjelaskan, tarif PPh badan Indonesia yang kini di angka 25 persen sebenarnya bukan yang tertinggi di ASEAN. Tarif di Filipina mencapai 30 persen, sementara Myanmar 25 persen. Negara lain yang menerapkan angka lebih rendah adalah Laos (24 persen), Malaysia (24 persen), Thailand, Vietnam, Kamboja (20 persen) dan Singapura (17 persen).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, pemerintah berencana melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai PPh. Perubahan dilakukan dengan menurunkan besaran PPh dari 25 persen menjadi 20 persen. Angka ini diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang semakin kompetitif dibanding dengan negara lain di Asia Tenggara.