Ahad 10 Aug 2025 16:16 WIB

Tolak Terburu-buru, Anggota DPR Usulkan 3 Alternatif soal Payment ID

Kasus kebocoran data jadi alasan kuat perlunya kajian lebih matang.

Pembayaran dengan fitur NFC. Anggota Komisi I DPR RI Sarifah Ainun Jariyah mengusulkan tiga alternatif kebijakan terkait wacana pemerintah menerapkan Payment ID dalam transaksi digital.
Foto: dok Freepik
Pembayaran dengan fitur NFC. Anggota Komisi I DPR RI Sarifah Ainun Jariyah mengusulkan tiga alternatif kebijakan terkait wacana pemerintah menerapkan Payment ID dalam transaksi digital.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR RI Sarifah Ainun Jariyah mengusulkan tiga alternatif kebijakan terkait wacana pemerintah menerapkan Payment ID dalam transaksi digital. Pertama, perbaikan sistem pajak dengan memberikan kompensasi otomatis. 

Kedua, penundaan Payment ID hingga infrastruktur keamanan data benar-benar siap. Ketiga, penerapan model pelaporan berkala, bukan pelaporan per transaksi.

Baca Juga

"Kita harus belajar dari negara lain. Insentif, bukan paksaan. Perlindungan, bukan eksploitasi. Komisi I DPR akan terus mengawal isu ini untuk memastikan hak warga terlindungi," kata Sarifah dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (10/8/2025).

Sarifah mengatakan, kebijakan pelaporan dalam transaksi keuangan bukan hal baru dan sudah diterapkan di beberapa negara. Namun, kebijakan tersebut juga memberikan insentif kepada masyarakatnya.

"Di Australia dan beberapa negara lain, pelaporan setiap pembelian memang ada, tetapi disertai kompensasi nyata seperti tax refund 10–15 persen. Sistem kita belum siap memberikan penghargaan serupa kepada wajib pajak," ujarnya.

Politikus dari daerah pemilihan Banten ini juga memaparkan alasan utama terkait usulannya. Pertama, sistem perpajakan Indonesia dinilai belum mampu memberikan insentif memadai. Data Direktorat Jenderal Pajak mencatat hanya 16,5 juta wajib pajak aktif dari total 275 juta penduduk.

Kedua, infrastruktur digital Indonesia masih rentan. Menurut Indonesia Data Protection Authority, sepanjang 2023–2024 terjadi 3.814 kasus kebocoran data.

Ketiga, perlindungan hukum bagi korban kebocoran data dinilai belum memadai. Sarifah mencontohkan kasus kebocoran data BPJS Kesehatan 2023 yang menimpa 279 juta orang, tetapi tidak disertai kompensasi memadai bagi korban.

Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mencatat 120 ribu rekening nasabah diperjualbelikan di situs media sosial hingga e-commerce.

Keempat, data KTP dan NPWP di bank belum terintegrasi sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaannya.

Kementerian Keuangan sebelumnya menyatakan masih mengkaji wacana ini secara komprehensif. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, setiap kebijakan baru harus mempertimbangkan aspek perlindungan data pribadi.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement