Selasa 18 Jun 2019 19:56 WIB

Indonesia Dinilai Belum Optimal Manfaatkan Perang Dagang

Perang Dagang AS dan Cina dinilai bisa menjadi keuntungan bagi ekonomi Indonesia.

Red: Nur Aini
Bendera Cina-Amerika
Foto: washingtonote
Bendera Cina-Amerika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah belum optimal memanfaatkan perang dagang Amerika Serikat dan Cina menjadi keuntungan bagi perekonomian Indonesia.

Menurut Bhima, Indonesia tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang dinilai mampu meraup keuntungan dari perang dagang yang terjadi Amerika dan Cina.

Baca Juga

"Keunggulan komparatif Vietnam dibandingkan Indonesia itu bukan dari upah buruh yang lebih murah tapi justru dari insentif yang diberikan yang saling berjarak antara pemerintah pusat dan daerah itu yang tidak terjadi di Indonesia," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (18/6).

Bhima menjelaskan, dampak dari perang dagang membuat investor dari Cina atau Amerika Serikat akan mencari negara lain untuk kegiatan produksi dan Vietnam menjadi salah satu negara tujuan utama karena kemudahan dan jaminan yang diberikan untuk para investor.

"Di sini banyak kepala daerah yang antipati terhadap investor yang datang karena sudah puas bagi hasil dengan pemerintah pusat," katanya.

Menurut Bhima, Indonesia bisa memanfaatkan peluang perang dagang Amerika Serikat dan Cina dengan mendorong volume ekspor terutama dari sektor pertanian. Dia mencontohkan, saat ini terjadi penurunan signifikan permintaan kedelai dari Amerika Serikat sebagai produsen nomor satu di dunia ke Cina karena tarif impor yang terlalu tinggi akibat perang dagang kedua negara.

"Pertanyaannya dari mana kebutuhan itu ditutupi dengan jumlah penduduk Cina yang miliaran orang dan membutuhkan makanan olahan. Peluang ini sayangnya tidak dibaca Indonesia tapi oleh Malaysia yang telah melakukan barter dengan minyak sawit yang akhirnya bisa menolong harga sawit di level petani Malaysia," ujarnya.

Bhima juga menyinggung mengenai agresifitas pemerintah dalam melakukan negosiasi Free Trade Agreement (FTA) dengan beberapa negara untuk menaikkan nilai ekspor yang dianggap tidak cukup untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan.

"Logikanya tidak nyambung karena tidak punya kerja sama yang jelas dan dipaksakan melakukan FTA yang pada akhirnya merugikan Indonesia," ujarnya.

Bhima juga mengusulkan agar anggaran untuk Kementerian Perdagangan pada 2020 bisa meningkat karena dibutuhkan untuk melakukan lobi-lobi perdagangan internasional dan proteksi perdagangan Indonesia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement