Kamis 07 Nov 2019 09:19 WIB

Pengusaha Harapkan Indonesia Terus Dapatkan Fasilitas GSP

GSP merupakan kebijakan keringan bea masuk produk negara berkembang ke AS

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
AS mencabut fasilitas GSP untuk Indonesia.
Foto: republika
AS mencabut fasilitas GSP untuk Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berharap, pemberian fasilitas generalized system of preferences (GSP) dapat diteruskan. Sebab, fasilitas ini dinilai dapat menjadi perdagangan yang lebih win-win antara Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia. Khususnya di tengah kondisi perang dagang dan perlambatan ekonomi global saat ini.

GSP merupakan program Pemerintah AS untuk mendorong pembangunan ekonomi negara-negara berkembang yang terdaftar, termasuk Indonesia. Dorongan dilakukan dengan membebaskan bea masuk ribuan produk negara tersebut ke AS.

Baca Juga

Shinta menuturkan, dalam jangka pendek, sebetulnya banyak peluang di pasar AS yang dapat dimanfaatkan sebagai efek samping perang dagang. Karena, menurutnya, terjadi market void yang besar di AS.

"Kondisi ini dapat disubstitusi oleh produk-produk Indonesia selama daya saing kita di pasar AS cukup baik dari segi harga maupun kualitas," ucapnya ketika dihubungi Republika, Rabu (6/11) malam.

Proses substitusi tersebut dapat dilakukan melalui fasilitas GSP. Apalagi, Shinta menambahkan, Indonesia hari ini masih memiliki fasilitas GSP. Persentasenya sekitar 20 sampai 30 persen dari total jenis produk yang diimpor AS dari seluruh dunia.

Hanya saja, baru sekitar 10 sampai 15 persen kegiatan ekspor di Indonesia yang memakai fasilitas GSP. "Selebihnya tidak dipakai karena kita tidak ekspor ataupun belum ekspor ke AS," tutur Shinta.

Dengan kondisi tersebut, Shinta menilai, peluang ekspor Indonesia ke AS menjadi sulit untuk dilewatkan. Pelaku usaha pun sudah mempelajari peluang-peluang pasar di AS yang memang dapat disubstitusi dan mempelajari daftar GSP yang belum digunakan.

Shinta memastikan, pengusaha terus memfasilitasi supply chain matchmaking antara Indonesia dengan AS untuk menutupi market void yang ditinggalkan Cina di pasar AS. Upaya ini dilakukan seiring dengan peningkatan ekspor Indonesia ke AS pada produk-produk yang manfaat GSP-nya masih diberikan kepada Indonesia.

Singkatnya, Shinta memastikan, pengusaha tidak akan segan-segan membeli produk ekspor AS apabila memang memiliki daya saing tinggi. “Sebaliknya, kami akan mempromosikan dan menggenjot ekspor produk yang berdaya saing yang dibutuhkan oleh pelaku usaha AS dalam menjalankan kegiatan usahanya di pasar mereka atau di pasar global,” ucapnya.

Shinta menambahkan, pengusaha juga akan mengutamakan promosi produk-produk ekspor Indonesia yang diproduksi dengan input produksi dari AS.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, finalisasi peninjauan kembali mengenai fasilitas GSP dari AS ke Indonesia masih terus berlangsung. GSP merupakan kebijakan AS untuk meringankan bea masuk barang-barang dari sejumlah negara berkembang.

Dalam waktu dekat, pemerintah Indonesia segera mengirimkan delegasi ke AS untuk melakukan negosiasi dengan United States of Representative (USTR). Tapi, Airlangga tidak menjelaskan waktu detail pengiriman delegasi tersebut.

"Kami akan segera kirim tim di bawah Kementerian Perdagangan," ujarnya kepada media usai bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/11).

Sementara itu, Ross mengatakan, pertemuan antara delegasi AS dengan Indonesia membahas GSP berjalan dengan konstruktif. Saat ini, UTR bersama dengan perwakilan dagang Indonesia terus melakukan pembahasan secara intensif dan baik.

Ross optimistis, isu ini dapat segera diselesaikan dengan cepat sehingga bisa diumumkan hasilnya secepat mungkin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement