Selasa 14 May 2019 16:08 WIB

Ekonom: Perbaikan Kondisi Ekonomi AS Sebabkan Rupiah Melemah

BI harus berupaya agar insentif bagi bagi investor asing tetap menarik.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (9/11).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, pelemahan rupiah selama dua hari ini sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Proyeksi ini berdasarkan kecenderungan pelemahan yang sudah berlangsung sejak beberapa hari lalu akibat kondisi ekonomi global, terutama perang dagang Amerika Serikat (AS)  dengan Cina. 

Piter menjelaskan, pergerakan rupiah utamanya dipengaruhi oleh aliran modal asing yang sangat bergantung kepada kondisi atau isu global. Perkembangan global khususnya perang dagang sangat mempengaruhi sentimen pemegang modal di pasar keuangan global. "Termasuk terhadap aliran ke Indonesia," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (14/5).

Piter menambahkan, Indonesia harus memperhatikan kondisi ekonomi AS yang jauh lebih baik dari ekspektasi. Kondisi ini setidaknya berdampak pada dua hal. Pertama, semakin meyakinkan bahwa Bank Sentral AS The Fed belum akan menurunkan suku bunga.

Bahkan, Piter menuturkan, bila pertumbuhan perekonomian semakin tinggi dan mengundang inflasi, The Fed bisa kembali ke rencana awal menaikkan suku bunga. Arah kebijakan ini sudah menggerakan pemilik modal untuk ancang-ancang menarik investasinya di negara berkembang.

Dampak kedua dari perbaikan ekonomi AS adalah mentahnya perundingan perang dagang AS dan Cina. "Perbaikan ekonomi AS menyebabkan Presiden AS Donald Trump semakin percaya diri melanjutkan perang dagang," ujar Piter.

Dengan mentahnya perundingan perang dagang, masa depan perdagangan global kembali muram. Harga komoditas bisa kembali terpuruk. Hal ini menjadi kabar buruk bagi Indonesia yang mengandalkan ekspor pada barang komoditas. Artinya, Indonesia akan semakin sulit utk memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD).

Piter mengatakan, dua kondisi ini merupakan pertimbangan investor global atas investasi portofolio mereka di indonesia. "Sedikit saja mereka menarik investasi mereka keluar, rupiah secara signifikan melemah," ucapnya.

Untuk mengantisipasi hal ini, Piter menilai, tidak ada yang banyak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Ia berharap,  perkembangan global tidak mengakibatkan keluarnya aliran modal asing secara masif seperti tahun lalu dan hanya temporer.

Di sisi lain, Bank Indonesia harus berupaya agar insentif bagi investasi di dalam negeri bagi investor asing tetap menarik. Di antaranya dengan menahan suku bunga. "Kondisi ini menegaskan BI belum waktunya menurunkan suku bunga," ucap Piter.

Pemerintah juga harus lebih serius memperbaiki iklim investasi. Salah satunya agar aliran modal yang masuk lebih didominasi investasi langsung, bukan investasi portofolio.

Sementara itu, dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah harus memulai kembali pembangunan industri manufaktur. "Ini guna memperbaiki neraca dagang dan transaksi berjalan," ucap Piter.

Dengan latar belakang tersebut, Piter memperkirakan, rupiah masih akan dalam tekanan pelemahan sampai kuartal kedua tahun ini.

Dikutip dari situs Bank Indonesia, pelemahan rupiah terhadap dolar AS sudah mulai terjadi sejak sepekan terakhir. Pada Selasa (7/5), nilai tukar rupiah adalah Rp 14.309 per dolar AS yang terus naik sampai Rp 14.347 per dolar AS pada Jumat (10/5). Terakhir, pada Selasa (14/5), nilainya sudah menyentuh Rp 14.444 per dolar AS. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement