Kamis 25 Apr 2019 17:46 WIB

Usai Merger, Bank BTPN Masuki Segmen Korporasi Skala Besar

Bank BTPN akan ikut membiayai proyek-proyek infrastruktur.

Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana (kanan), Chief Financial Officer Anna Tantani (tengah), dan Wholesale Banking Head Nathan Christianto memberikan keterangan pers kinerja Bank BTPN kuartal I 2019 di Jakarta, Kamis (25/4).
Foto: Budi Raharjo
Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana (kanan), Chief Financial Officer Anna Tantani (tengah), dan Wholesale Banking Head Nathan Christianto memberikan keterangan pers kinerja Bank BTPN kuartal I 2019 di Jakarta, Kamis (25/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank BTPN kini memasuki segmen korporasi berskala besar usai resmi merger dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) pada 1 Februari 2019. Segmen korporasi ini merupakan bisnis warisan dari SMBCI.

Wholesale Banking Head Bank BTPN Nathan Christianto mengatakan perseroan menargetkan dua jenis korporasi dalam bisnis barunya ini. Pertama, korporasi-korporasi asal Jepang. "Karena kita bagian dari SMBC Group dengan basis costumer corporate," ujar dia dalam keterangan pers kuartal I di Jakarta, Kamis (25/4).

Kedua, Nathan melanjutkan, Bank BTPN akan menyasar perusahaan-perusahaan lokal yang terdiri dari grup-grup usaha besar, BUMN, maupun perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan multinasional ini bisa berasal dari Eropa, Amerika Serikat atau Asia. "Beberapa perusahaan Asia masuk ke Indonesia untuk kembangkan usaha di sini," ujarnya.

Perusahaan besar itu bisa bergerak di sektor energi yang terkait proyek kelistrikan maupun bahan bakar minyak. Bank BTPN juga membidik pembiayaan untuk proyek di sektor infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara.

Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana mengatakan perseroan memiliki keunggulan dalam menggarap segmen korporasi besar. Bank BTPN mendapatkan sokongan penuh dari SMBC. Dukungan global ini diperlukan lantaran proyek-proyek korporasi besar membutuhkan pendanaan yang nilainya triliunan rupiah. "Perlu sindikasi," ujarnya.

Proyek-proyek itupun biasanya membutuhkan valuta asing dalam jumlah besar. Diperlukan sindikasi dengan bank asing untuk pembiayaan itu. "Itulah nilai tambah Bank BTPN," kata Ongki.

Saat ini Bank BTPN sedang terlibat pendanaan dalam lima sindikasi. Nathan menyebutkan sindikasi yang sedang berjalan ini di antaranya terkait proyek logistik dan pembiayaan consumer finance. "Ini membuktikan kepercayaan terhadap Bank BTPN," ujar dia.

Hingga akhir Maret 2019, Bank BTPN memperlihatkan kinerja yang sehat dan kuat. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) mencapai 23,1 persen dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) 0,8 persen. Adapun rasio likuiditas (loan to funding ratio/LFR) sebesar 89 persen.

Sementara, laba bersih setelah pajak (net profit after tax/NPAT) sebesar Rp 507 miliar. Capaian itu lebih rendah 5 persen dari tahun lalu (yoy). "Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya biaya dana (cost of fund), sedangkan kapasitas untuk mengompensasi peningkatan biaya dana ke para debitur terbatas,” kata Ongki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement