REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubenur (RDG) bulanan terkait suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate. Saat ini, suku bunga acuan BI masih berada pada level enam persen.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (Persero) Ryan Kiryanto memperkirakan Bank Indonesia masih akan tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI7DRRR di level enam persen, dengan beberapa pertimbangan dari faktor eksternal dan internal. Dari faktor eksternal, diyakini arah gerak fed fund rate (FFR) semakin longgar atau dovish di mana The Fed tidak lagi agresif menaikkan FFR.
“Bahkan FFR akan bertahan di level 2,25-2,5 persen hingga akhir 2019. Mengingat sudah ada indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi AS di bawah tiga persen (tahun ini berkisar 1,9-2,1 persen) disertai laju inflasi mendekati dua persen,” ujarnya, Kamis (25/4).
Ryan menjelaskan pilihan The Fed ada dua, antara menahan FFR di level saat ini yg 2,25 persen-2,50 persen hingga akhir 2019 atau menurunkan FFR hanya sekali sebesar 25 bps menjadi 2,0 persen-2,25 persen hingga akhir 2019. Banyak ekonom di AS menghendaki FFR turun 25 bps menjadi 2,0 persen-2,25 persen hingga akhir 2019 untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi AS menuju 3 persen lagi.
"Sejumlah bank sentral di dunia juga sudah menurunkan suku bunga acuannya (BOJ, PBOC, BNM, ECB),” ucapnya.
Dari faktor internal, BI dan pemerintah memiliki tujuan yang sama, yakni stability over growth mempriotaskan stabilitas seraya menjaga momentum pertumbuhan. Sehingga, pilihan paling rasional dan strategis adalah RDG BI tetap menahan BI7DRRR di level enam persen.
Menurutnya langkah BI yang 2018 lalu secara agresif menaikkan BI7DRRR sebesar 175 bps dari 4,25 persen ke 6 persen merupakan langkah preemptive dan ahead the curve yang tepat. Sehingga, jika RDG BI saat ini tidak menaikkan BI7DRRR alias tetap 6 persen sebagaimana RDG 21-22 Maret 2019 lalu adalah langkah tepat.
“Keputusan ini bisa membantu penguatan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap tekanan eksternal (trade war, risiko geopolitik, perlambatan ekonomi global, melemahnya harga komoditas dan Brexit), menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya rupiah dan mempertahankan daya tarik investor asing untuk memegang aset dalam rupiah karena lebih atraktif,” jelasnya.