Senin 22 Apr 2019 12:18 WIB

Pemerintahan Terpilih Harus Konsisten Benahi Ekonomi

Pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang kondusif

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru menilai, siapapun Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih nantinya harus konsisten melakukan pembenahan ekonomi secara bertahap. Salah satunya dengan investasi teknologi asing yang dibutuhkan untuk menopang kebutuhan pembangunan dalam negeri. Khususnya, apabila barang-barang tersebut belum bisa diproduksi di dalam negeri.

Diheim mengatakan, implementasi tersebut secara bersamaan perlu diiringi dengan pengembangan teknologi produsen domestik dan investor lokal secara berkelanjutan. Pemerintah juga harus mendukung hal ini melalui revisi kebijakan-kebijakan terkait kewirausahaan dan perdagangan.

Diheim menambahkan, kebijakan terkait kewirausahaan dan perdagangan idealnya harus saling mendukung satu sama lain. Selain menciptakan iklim usaha yang kondusif dan juga kemudahan untuk memulai usaha dan berusaha untuk seterusnya, kebijakan perdagangan juga perlu dibenahi. "Tujuannya, agar produk hasil wirausaha bisa menjangkau pasar yang luas," ujarnya melalui siaran pers, Senin (22/4).

Pembenahan yang perlu dilakukan pada sektor kewirausahaan antara lain, perlu adanya sinkronisasi prosedur birokrasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Selain itu, juga perlu ada kemudahan dalam pemenuhan prasyarat untuk registrasi suatu usaha secara resmi.

Menurut Diheim, masih banyak komunitas di berbagai penjuru Tanah Air yang secara infrastruktur sulit untuk dijangkau oleh sistem Online Single Submission. Selain itu, penyebaran informasi mengenai registrasi belum komprehensif, banyaknya dokumen-dokumen prasyarat, dan sistem yang bentrok antara kebijakan pusat dengan daerah.

Proses yang rumit tersebut menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk registrasi usaha paling cepat selama 23 hari. Secara ideal, Diheim menyebutkan, apabila persyaratan dokumen bisa didapatkan secara cepat dan prosedur registrasi dipersingkat lagi, proses registrasi usaha di Indonesia berpotensi untuk dipotong menjadi enam hari saja.

Sementara itu, lanjut Diheim, pembenahan untuk sektor perdagangan juga penting. Untuk bidang pangan, rantai komoditas konsumsi rakyat di Indonesia masih cenderung lebih banyak dikendalikan oleh BUMN.

"Selain itu, peran swasta di pasar domestik masih dibatasi oleh kebijakan kementerian-kementerian terkait," katanya.

Harga komoditas yang merupakan bahan pangan utama seperti beras, gula, dan daging-dagingan, masih terlampau mahal dibandingkan negara-negara tetangga. Misalnya, Filipina, Thailand, Malaysia, dan India.

Diheim mengatakan, indikator harga mahal pada daging, gula, dan beras menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara produksi pangan domestik dengan pemenuhan kebutuhan di pasar. Apabila kebijakan pangan terus dibatasi, tidak dilakukan upaya untuk menyederhanakan rantai distribusi dan juga masih adanya pembatasan peran swasta di pasar, maka harga pangan kemungkinan akan tetap tinggi karena kesenjangan tadi.

Untuk menutupi kesenjangan tersebut, Diheim menilai, perlu adanya pertimbangan untuk melibatkan swasta dalam melakukan perdagangan komoditas pangan. Pihak swasta dapat membantu memperkuat distribusi yang lebih efisien dan juga berpotensi memperkuat teknologi produksi domestik. "Serta, membantu peranan Bulog dalam melakukan impor pangan pada tingkat harga yang efisien," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement