REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf R Manilet menilai Bank Indonesia (BI) akan lebih aktif menstabilkan nilai tukar rupiah untuk mengantisipasi dampak konflik Iran dan Israel.
"Konflik juga dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang di Indonesia, karena investor mungkin mencari aset yang lebih aman, yang potensialnya dapat menyebabkan penurunan nilai rupiah Indonesia," kata Yusuf kepada ANTARA di Jakarta, Selasa (16/4/2024).
Ia menuturkan tingkat volatilitas rupiah tersebut akan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu dan kondisi depresiasi yang dialami oleh nilai tukar rupiah berpeluang terjadi lebih lama.
"Untuk infrastruktur ataupun kebijakan sebenarnya pemerintah dan otoritas terkait punya berbagai instrumen yang bisa digunakan untuk mengantisipasi dampak lebih lanjut dari konflik Iran dan Israel ini," ujarnya.
Untuk mengantisipasi depresiasi nilai tukar yang lebih dalam, Bank Indonesia bisa mengoptimalkan berbagai kebijakan seperti instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah.
"Bank Indonesia dalam hal ini juga saya kira akan lebih aktif di pasar valas untuk melakukan intervensi nilai tukar rupiah," tuturnya.
Di sisi lain, konflik Iran dan Israel juga dapat menyebabkan lonjakan harga minyak karena terganggunya pasokan minyak mentah. Menurut Yusuf, penyesuaian pada asumsi harga minyak dalam negeri perlu dilakukan jika konflik Iran dan Israel berkepanjangan.
Selain itu, perubahan pada harga bahan bakar minyak (BBM) juga berpotensi terjadi, dengan asumsi bahwa konflik tersebut akan berlanjut karena ada aksi balasan dari Israel dan sekutunya.
Jika konflik tereskalasi lebih jauh, menyebabkan perang yang lebih luas di Timur Tengah, bisa potensial menjatuhkan ekonomi global ke dalam resesi dan akan berdampak signifikan pada sentimen investor. Ketidakpastian dan volatilitas dapat menyebabkan penurunan aktivitas investasi.
"Meski demikian, dalam konteks sentimen investasi, ada faktor lain yang juga ikut mempengaruhi psikologi investor, dan dalam konteks Indonesia sebenarnya faktor-faktor tersebut relatif tidak terlalu berpengaruh buat Indonesia misalnya faktor dari stabilisasi ekonomi dalam jangka panjang," ujarnya.