Kamis 25 Apr 2024 13:40 WIB

Dirut BRI: Kondisi Ekonomi Indonesia Lebih Relate dengan China

Perekonomian China hanya tumbuh 5,2 persen tahun 2023 lalu.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Direktur Utama BRI Sunarso.
Foto: Dok. BRI
Direktur Utama BRI Sunarso.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah dinamika kondisi ekonomi dan geopolitik global yang bergejolak membuat seluruh dunia was-was dengan kondisi perekonomian gagal, yang sudah mulai terganggu pada saat pandemi Covid-19 merebak empat tahun lalu.

Terlebih saat ini sedang memanas konflik Israel dan Iran, termasuk kondisi inflasi AS sebesar 3,5 persen yang membuat Indonesia melakukan penyesuaian terhadap suku bunga The Fed. Menanggapi hal ini, Direktur Utama BRI. Sunarso mengatakan bahwa BRI justru memiliki sudut pandang lain. Hal ini berdasarkan kajian yang dilakukan BRI.

Baca Juga

"BRI punya kajian tentang korelasi antara, sebenarnya ekonomi Indonesia itu dalam hubungannya dengan global, itu dengan negara mana yang korelasinya paling kuat. Bahwa sekarang ekonomi kita paling kuat korelasinya dengan ekonomi di China. Sementara kekuatan korelasi antara ekonomi Indonesia dengan Amerika menurun," ujar Sunarso dalam Konferensi Pers Paparan Kinerja BRI Kuartal I/2024 secara daring, Kamis (25/4/2024).

Oleh karenanya, gejolak perekonomian di China justru akan lebih berpengaruh terhadap Indonesia. Seperti diketahui, perekonomian China hanya tumbuh 5,2 persen tahun 2023 lalu, terungkap dari angka resmi yang ditunjukkan badan statistik setempat/NBS. Perlambatan ekonomi China dapat memberi dampak ke sejumlah sektor bagi ekonomi regional termasuk Indonesia, salah satunya terkait sektor perdagangan.

Perekonomian China tumbuh lebih cepat dari perkiraan pada kuartal pertama. Namun, krisis di sektor properti telah menjadi hambatan besar bagi perekonomian China. Data Maret lalu menyoroti parahnya krisis di sektor properti yang berdampak pada perekonomian yang lebih luas. Krisis ini juga berdampak pada kepercayaan dunia usaha dan konsumen, rencana investasi, keputusan perekrutan tenaga kerja, dan kinerja pasar saham.

Ketika Federal Reserve dan negara-negara maju lainnya tidak terburu-buru untuk mulai menurunkan suku bunga, China mungkin juga akan menghadapi pertumbuhan ekspor di bawah standar dalam jangka waktu yang lebih lama. Kondisi ini tentunya menjadi pukulan lebih lanjut terhadap harapan para pengambil kebijakan untuk merekayasa pemulihan ekonomi yang kuat.

China juga harus menghadapi ketegangan yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat mengenai perdagangan, teknologi, dan geopolitik. Pertemuan Politbiro yang diperkirakan akan diadakan pada bulan April kemungkinan besar memberikan petunjuk mengenai respons kebijakan Beijing, meskipun hanya sedikit analis yang memperkirakan adanya stimulus besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement