REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dana Moneter Internasional (IMF) pada Jumat (12/4) waktu setempat mengatakan prospek pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik tetap "relatif stabil. Tetapi, ungkap IMF, risiko-risiko penurunan telah meningkat, menyoroti perlambatan perdagangan, harga minyak yang lebih tinggi, dan volatilitas pasar keuangan global.
"Jika perlambatan perdagangan ternyata lebih terasa dan lebih tahan lama, itu jelas akan memengaruhi pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik," kata Direktur Departemen IMF untuk Asia dan Pasifik, Changyong Rhee, dalam konferensi pers di Pertemuan Musim Semi IMF dan Bank Dunia.
"Ketidakpastian kebijakan perdagangan dapat menimbulkan ancaman baru bagi pertumbuhan," kata Rhee menambahkan.
IMF memproyeksikan Asia tumbuh 5,4 persen pada 2019 dan 2020, sebagian besar tidak berubah dari perkiraan sebelumnya pada Oktober. Rhee mengatakan bahwa kawasan Asia terus menyumbang lebih dari 60 persen pertumbuhan global.
IMF pada Selasa (9/4) merevisi naik proyeksi pertumbuhan 2019 untuk China menjadi 6,3 persen, naik 0,1 poin persentase dari estimasi sebelumnya pada Januari, menurut World Economic Outlook April 2019 yang baru dirilis.
Rhee mengatakan kepada Xinhua bahwa revisi naik mencerminkan dampak gabungan dari perkembangan terakhir dalam perundingan perdagangan China-AS, kebijakan fiskal ekspansif China yang lebih kuat dari yang diperkirakan, dan ekonomi global yang melambat.
"Respons kebijakan fiskal China yang lebih besar dari perkiraan akan membantu mengimbangi dampak permintaan eksternal yang lebih lemah," katanya.
Di Jepang, ekonomi diproyeksikan akan meningkat sebesar satu persen pada tahun 2019 dan IMF memperkirakan perlambatan pertumbuhan bertahap menjadi 0,5 persen tahun depan.
"Di India, pertumbuhan diperkirakan meningkat hingga 7,3 persen tahun fiskal ini, di tengah sikap kebijakan yang lebih ekspansif," kata Rhee.
Menyusul risiko-risiko penurunan, IMF menyarankan agar ekonomi Asia mengadopsi kebijakan yang gesit, waspada, dan bijaksana untuk bernavigasi melewati "angin yang berputar-putar," katanya.
"Kebijakan-kebijakan ekonomi makro harus bertujuan menstabilkan pertumbuhan sambil memastikan keberlanjutan dan meningkatkan ketahanan," kata Rhee.
"Secara paralel, kebijakan keuangan harus bertujuan untuk mengatasi kerentanan dari leverage tinggi dan membangun penyangga-penyangga."
Lebih lanjut Rhee menuturkan, Asia juga perlu fokus pada kebijakan untuk mempertahankan momentum pertumbuhannya dalam jangka panjang dalam menghadapi penurunan pertumbuhan produktivitas dan penuaan yang cepat.
Hal itu, sambung dia, termasuk reformasi pasar tenaga kerja dan produk, memperkuat pengeluaran sosial untuk mengatasi meningkatnya ketidaksetaraan, dan upaya untuk membuka ekonomi kawasan lebih lanjut ke perdagangan yang dapat mengurangi risiko-risiko dari meningkatnya proteksionisme global dan membantu meningkatkan ketahanan Asia.