Senin 08 Apr 2019 15:49 WIB

Darmin Pimpin Delegasi ke Brussel Lawan Diskriminasi Sawit

Pemerintah tak gentar membawa persoalan sawit ke WTO.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat  memberikan sambutan pada acara Cho-choc Tea Night and Fun yang merupakan  rangkaian acara Seminar Pupuk dan Mekanisasi di Perkebunan yang diadakan  oleh PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) di Jakarta, Kamis (4/4).
Foto: dok. Biro Humas Kemenko Perekonomian
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat memberikan sambutan pada acara Cho-choc Tea Night and Fun yang merupakan rangkaian acara Seminar Pupuk dan Mekanisasi di Perkebunan yang diadakan oleh PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) di Jakarta, Kamis (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memimpin Delegasi RI (DELRI) dalam lawatan resmi ke Brussels, Belgia pada Senin dan Selasa (8-9/4). Selama dua hari kunjungannya, para Delegasi akan melakukan pertemuan dengan Komisi, Parlemen dan Dewan Eropa serta berbagai stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok industri sawit di pasar Uni Eropa.

Darmin menjelaskan, kunjungan ini merupakan respon Indonesia atas kebijakan diskriminatif Uni Eropa (UE) yang mengklasifikan produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi / Indirect Land Use Change (ILUC). Diketahui, kebijakan tersebut kini telah diadopsi dalam regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II).

Baca Juga

"Tujuan utama joint mission ini untuk menyampaikan kekecewaan dan melawan Delegated Act yang telah diadopsi oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 lalu," katanya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (8/4).

Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan 10 (sepuluh) poin sikap atas langkah diskriminatif UE terhadap komoditas kelapa sawit. Tidak hanya itu, bersama Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, pemerintah juga telah menggandeng dunia usaha asal UE melalui pertemuan dengan International Chamber of Commerce & European Union MNCs di Kementerian Luar Negeri pada 20 Maret 2019.

Dalam pertemuan tersebut, Darmin menegaskan hubungan baik antara Indonesia dan UE seharusnya tetap dapat dibina dengan baik. Khususnya dalam bidang ekonomi yang sudah terjalin sejak lama.  

Anggota DELRI yang turut serta dalam lawatan ini antara lain Staf Khusus Kementerian Luar Negeri RI Peter F. Gontha, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdhalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati, dan perwakilan-perwakilan asosiasi kelapa sawit nasional.

Adapun delegasi Malaysia dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Utama (MPI) Malaysia Dato’ Dr Tan Yew Chong, sementara Duta Besar Kolombia di Brussel Felipe Garcia Echeverri memimpin delegasi Kolombia.

Sebelumnya, Darmin menegaskan, pemerintah tetap tidak gentar membawa persoalan minyak kelapa sawit ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO). Sebab, menurutnya, UE sudah melakukan diskriminasi terhadap komoditas Indonesia.

Darmin menuturkan, UE boleh saja percaya diri untuk menang di WTO. Tapi, pemerintah Indonesia tidak akan merisaukan hal tersebut karena sudah memiliki dasar bahwa UE memang melakukan diskriminasi dengan menyebutnya sebagai komoditas tidak berkelanjutan dengan risiko tinggi untuk deforestasi. "Dia (UE) emang udah selesai deforestasinya, 200 tahun lalu. Tapi, jangan tiba-tiba bilang kita begitu," tuturnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (22/3).

Menurut Darmin, sawit memiliki tingkat efisiensi lebih tinggi dari segi lahan untuk memproduksi minyak nabati. Ia menyebutkan, rapeseed maupun bunga matahari yang banyak ditanam di Eropa membutuhkan lahan hingga 20 kali lebih luas dibanding dengan sawit.

Tentang deforestasi, Darmin menambahkan, Eropa sudah melakukannya sejak ratusan tahun lalu. Mereka menebang pohon di area hutan untuk menanam tanaman guna mendapatkan minyak nabati. "Kemudian, dia (UE) bilang kita tidak boleh (ekspor CPO ke sana). Loh, emangnya, setelah you makmur, kita tidak boleh? Itu diskriminasi," ucapnya.

Klasifikasi CPO sebagai risiko tinggi itu masuk dalam rancangan peraturan Komisi Eropa, yakni, Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive (RED II). Apabila RED II tersebut diadopt atau disahkan, CPO dan produk turunannya seperti biofuel tidak dapat masuk ke pasar UE. Sebab, mereka dianggap tidak memenuhi syarat dari sisi keberlanjutan.

Selain melalui WTO, Darmin menuturkan, pemerintah juga akan mencari upaya lain untuk menghentikan UE menghentikan akses CPO ke mereka. Di antaranya dengan melibatkan para pengusaha asal UE untuk melawan sikap diskriminatif UE.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement