REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk bisa menekan angka penurunan produksi atau natural decline Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) mengatakan perlu melakukan beberapa langkah. Selain melakukan teknologi pengurasan seperti enhanced oil recovery (EOR) juga mengajak para investor untuk bisa melakukan eksplorasi. Hanya saja, kata Kepala SKK Migas Dwi Sucipto langkah-langkah tersebut membutuhkan waktu.
Dwi menjelaskan misalnya dalam teknologi EOR sendiri sebuah kontraktor perlu waktu tiga hingga empat tahun untuk bisa mendapatkan dampak dan realisasinya. "EOR 3-4 tahun, tapi memang pekerjaan di hulu kan dampaknya tidak langsung," ujar Dwi di Kementerian ESDM, Kamis (4/4).
Tak hanya teknologi tersebut beberapa proyek besar seperti Indonesia Deep Water Development (IDD) dan pengerjaan beberapa blok minyak perlu waktu sampai pada tahap memproduksi minyak. "Misalnya IDD onstream 2023 maka 2024 baru bisa memberikan pengaruh. Masela lalu, misalnya, itu sekian lama baru 2026 onstream," ujar Dwi.
Maka, saat ini, kata Dwi SKK mengimbau para kontraktor untuk bisa memaksimalkan produksi agar penurunan tidak terjadi secara drastis. "Jadi ya seperti itu, jadi nggak ada cerita lain selain mengundang investor dan existing untuk melakukan pengeboran. Semoga ini bisa memberi pengaruh. Tapi itulah situasinya," tambah Dwi.
Sejak tahun 2017 Dewan Energi Nasional memprediksi adanya penurunan produksi, hal tersebut membuat DEN merekomendasikan penentuan target agar lebih realistis. Namun, faktanya, kata Dwi, analisis penurunan produksi tersebut masih bisa diatasi oleh SKK Migas.
"Kalau dari analisis DEN 2017, tahun ini tuh produksi hanya 630 barel. Tapi, kalau lifting kita sekarang bisa sampai 745 maka kita sudah datas perkiraan DEN waktu itu," ujar Dwi.