REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedang melakukan beberapa perundingan bilateral untuk menekan tarif bea masuk ekspor. Langkah ini dilakukan dalam upaya diversifikasi pasar akibat situasi perekonomian global yang lesu serta perang dagang yang memanas antara Amerika Serikat dengan Cina.
"Pak Menteri sudah beberapa kali melakukan perundingan bilateral, bentuknya semacam misi dagang supaya ada kesepakatan tarif ekspor yang ringan agar barang kita bisa masuk dengan maksimal ke negara tujuan," kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kemendag Arlinda kepada Republika, di Jakarta, Senin (25/3).
Adapun perundingan bilateral misi dagang yang sedang dijajaki pemerintah meliputi India, Timur Tengah, Afrika, Mozambik, Tunisia, dan Turki. Dia menjelaskan, dengan adanya perundingan dagang, Indonesia bisa berpeluang mendapatkan akses pasar ke negara-negara tersebut dengan tarif bea masuk ekspor yang dapat ditekan.
Terlebih, dia menjelaskan, untuk saat ini dari beberapa negara yang yang menjadi tujuan baru ekspor Indonesia, neraca perdagangan Indonesia terhadap mereka terbilang baik. Arlinda mencontohkan, neraca perdagangan Indonesia-India mengalami surplus pada 2018 kemarin dengan nilai 734,389 juta dolar AS.
Sementara itu Sekretaris Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Ratu Silvy Gayatri mengatakan, institusinya juga tengah berupaya melakukan kerjasama dengan sejumlah negara seiring dengan kebijakan pemerintah melakukan diversifikasi pasar.
"Kita akan mendukung ekspor produk strategis berteknologi seperti kereta api, alat berat, senjata, kapal, dan lainnya," kata Silvy.
Menurutnya, salah satu peluang besar Indonesia dalam meningkatkan kinerja ekspornya adalah dengan memfokuskan penetrasi terhadap pasar-pasar di Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Amerika Selatan. Di Amerika Latin misalnya, kata dia, potensi pasar ekspor bagi produk-produk Indonesia terbuka lebar sebab terdapat peluang pasar nontradisional yang belum tergarap.
Menurutnya, kawasan Amerika Latin dan Karibia dengan jumlah penduduk 647 juta jiwa dan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5,3 triliun dolar AS, merupakan salah satu kawasan yang paling berkembang di dunia, selain kawasan Asia. Sementara itu nilai perdagangan Amerika Latin mencapai 1,98 triliun dolar AS yang terdiri dari pasar nontradisional.
"Untuk itu, selain TEI 2019 ini, pemerintah juga akan menggelar forum bisnis Indonesia-Amerika Latin untuk memaksimalkan potensi ekspor yang bisa kita kejar," katanya.
Dia menjelaskan, dalam perundingan bilateral dagang yang ada, pemerintah menargetkan penurunan tarif bea masuk ke Amerika Latin sebesar nol persen. Sebab selama ini, kata dia, salah satu kendala yang kerap dikeluhkan pengusaha untuk dapat menembus negara tujuan baru ekspor adalah tingginya tarif masuk yang diberlakukan.
"Kami sih inginnya seluruh negara-negara di Amerika Latin bisa menurunkan tarif seminimal mungkin, kalau bisa sampai nol persen," katanya.
Di samping itu, selain permasalahan tarif masuk yang masih tinggi, akses pasar baru juga belum terbuka sebab adanya kebijakan nontarif yang belum diselesaikan dalam perundingan. Untuk saat ini, kata dia, Indonesia baru menyelesaikan perundingan ratifikasi dagang dengan Chili. Sementara itu dengan beberapa negara lainnya masih berproses, seperti dengan Peru.
Hambatan dagang nontarif, salah satunya adalah proses karantina di mana terdapat sejumlah negara di Amerika Latin yang berusaha memproteksi produk-produk dagangnya. Dia mencontohkan, di Argentina, dengan pertumbuhan produksi pertaniannya yang berkembang baik, proteksi pemerintahnya terhadap kebutuhan impor produk pertanian mulai dibatasi.
"Tapi kalau kita sudah selesaikan semua perjanjian dagangnya, kendala-kendala seperti ini saya rasa bisa diminimalisasi," katanya.