Ahad 17 Mar 2019 15:57 WIB

Kadin: Pelemahan Ekspor dan Impor Akibat Trickle Down Effect

Nilai ekspor dan impor pada Februari 2019 mengalami penurunan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menilai, perlambatan ekspor dan melemahnya impor bahan baku serta barang modal berasal dari faktor eksternal. Tepatnya, trickle down effect (efek menetes ke bawah) dari perlambatan ekonomi dunia. 

Shinta menilai, industri dalam negeri Indonesia sebenarnya tidak mengalami masalah terlalu biasa. Pertama, secara historis, ekspor Februari hampir selalu di bawah ekspor Januari dan Desember, pun dengan impor.

Baca Juga

"Penyebabnya, konsumsi yang hampir selalu turun pasca natal dan tahun baru," katanya ketika dihubungi Republika, Ahad (17/3).

Kedua, kinerja industri Indonesia sebenarnya sedang tidak dapat meningkat. Penyebabnya, pasar internasional tengah tidak memiliki appetite atau selera besar untuk membeli. Saat ini, Shinta menuturkan, pasar internasional sedang mengalami penurunan daya beli karena perang dagang.

Dampak dari perang dagang tersebut bahkan sudah menyebabkan perlambatan industri manufaktur Cina yang mempengaruhi terhadap ekspor produk non-migas di seluruh dunia. Ini sudah terindikasi sejak Januari 2019 berdasarkan survey Caixin Purchasing Manager’s Index (PMI).

Jadi, Shinta menegaskan, pada dasarnya, industri Cina sedang melambat dan mengalami penurunan daya beli. Dampaknya, permintaan atas barang-barang non migas dari negara-negara pengekspor indut produksi seperti Indonesia turut mengalami penurunan.

Selain itu, Shinta menambahkan, negara maju seperti Uni Eropa juga sedang mengalami perlambatan. Ada dua faktor penyebab atas kondisi ini, yakni beberapa komoditi pentingnya yang juga dicekal Amerika Serikat. "Selain itu, ada ketidakpastian terkait penyelesaian Brexit pada akhir bulan ini," tuturnya.

Dengan kondisi tersebut, pelaku usaha internasional juga berada dalam zona wait and see. Menurut Shinta, mereka tidak berani mengambil komitmen terhadap aktivitas produksi yang berskala besar atau berkomitmen panjang.

Faktor lainnya, Indonesia tidak bisa memanfaatkan potensi pasar yang tercipta di AS sejak perang dagang. Sebab, pada dasarnya, manufaktur Indonesia tidak dapat memproduksi seluruh produk yang dapat menjadi substitusi terhadap produk yang dicekal oleh AS dari Cina sejak perang dagang.

"Seluruh faktor ini menyebabkan trickle down effect terhadap kinerja produksi dan ekspor kita," ucap Shinta.

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan ekspansi ekspor ke pasar non tradisional atau baru. Tapi, penetrasi ke tujuan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu karena terdapat berbagai kendala. Misalnya, kurang familiarnya terhadap regulasi negara tujuan dan jalur perdagangan antara Indonesia dengan negara tersebut yang masih kurang efisien.

Penyesuaian diri juga dibutuhkan dari pasar-pasar baru tersebut. Shinta menekankan dibutuhkan waktu lama agar pasar-pasar non tradisional dapat mensubstitusi potensi ekspor yang hilang akibat perlambatan di negara rekan dagang tradisional Indonesia seperti UE, AS dan Cina.

Dalam hal ini, peranan pemerintah untuk membantu pengusaha dalam penetrasi ke pasar-pasar baru menjadi sangat penting. Selain itu, daya beli masyarakat lokal juga harus terus dijaga. "Sebab, kondisi dunia yang ‘melempem’ hanya dapat menggantungkan pertumbuhan dari konsumsi dan investasi dalam negeri," ujar Shinta.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor dan impor pada Februari 2019 mengalami penurunan. Untuk nilai ekspor, penurunan secara month-on-month, mencapai 10,03 persen, yakni dari 13,97 miliar dolar AS pada Januari 2019 menjadi 12,53 miliar dolar AS pada bulan lalu.

Penurunan juga terjadi secara year-on-year (11,3 persen), dari 14,13 miliar dolar AS pada Februari 2018.

Penurunan lebih besar terjadi pada impor. Pada Januari 2019, nilai impor menyentuh 14,99 miliar dolar AS yang turun menjadi 12,20 miliar dolar AS pada Februari 2019 atau turun sekitar 18,61 persen.

Secara year on year, penurunannya mencapai 13,98 persen, di mana impor pada Februari 2018 mencapai 14,18 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement