REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatika, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman menyebutkan, ada beberapa faktor kemungkinan yang menyebabkan penurunan impor bahan baku dan barang modal berupa plastik dan barang dari plastik (HS 39). Dua di antaranya permintaan industri hilir dalam negeri yang berkurang dan pembatasan impor dari pemerintah.
Budi menyebutkan, pihaknya belum melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif mengenai penyebab penurunan impor plastik dan barang dari plastik sepanjang Februari. Tapi, menurutnya, pembatasan impor memberikan kontribusi lebih besar.
"Kita ketahui, sejak akhir tahun lalu, pemerintah tengah gencar mengurangi defisit neraca dagang dengan menghambat impor," tuturnya ketika dihubungi Republika, Ahad (17/3).
Sementara itu, faktor permintaan dalam negeri masih belum terlihat keterkaitannya. Sebab, ketika permintaan dari pasar menurun, berarti produksi dalam negeri juga mengalami kondisi yang sama.
Tapi, selama ini, Budi menuturkan, tidak ada keluhan dari industri akan terjadinya penurunan permintaan maupun perlambatan kinerja produksi.
Menurut data Inaplas, bahan baku plastik banyak digunakan untuk industri pengemasan. Kontribusnya mendominasi hingga 40 persen. Selain itu, perkakas rumah tangga dan bahan bangunan juga menjadi industri yang memanfaatkannya.
Terlepas dari itu, Budi menjelaskan, penurunan impor terhadap plastik dan barang dari plastik patut disikapi secara positif. Sebab, ada kemungkinan, tren ini memberikan gambaran bahwa kinerja industri manufaktur atau hulu plastik dalam negeri semakin membaik.
"Selama ini, 40 persen bahan bakunya kita masih impor, sedangkan sisanya supply dalam negeri," ujarnya.
Menurut penggunaan barang, penurunan impor paling signifikan dibanding dengan Januari 2019 terjadi pada bahan baku/penolong, hingga 21,11 persen. Selain itu, barang modal juga mengalami penurunan hingga 7,09 persen.
Secara struktur, bahan baku/penolong ini berkontribusi atas 73,81 persen dari total impor Februari 2019, sedangan barang modal 17,94 persen.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menjelaskan, penurunan permintaan terhadap barang modal lebih disebabkan faktor eksternal. "Yakni, seiring penurunan realisasi investasi asing di industri mamin (makanan dan minuman) pada 2018," katanya.
Adhi menuturkan, tahun lalu, investasi asing untuk sektor mamin Indonesia turun hingga tujuh persen dibanding dengan tahun sebelumnya. Kondisi ini diprediksi kembali terjadi pada tahun ini, seiring dengan situasi Indonesia yang serba tidak pasti pada tahun politik. Selain itu, regulasi dan kebijakan yang kerap berubah turut memberikan pengaruh.
Akan tetapi, Adhi menilai, tingkat impor terhadap barang modal maupun bahan baku akan kembali membaik menjelang puasa dan Lebaran mengingat kebutuhan yang juga akan meningkat. Selain itu, pasca Pemilu dan penetapan jajaran menteri dalam kabinet nanti akan menjadi faktor penunjang.
"Sebab, kepastian sudah semakin meningkat, investasi bisa saja membaik," ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor plastik dan barang dari plastik pada Februari 2019 mencapai 635,7 juta dolar AS. Nominal tersebut mengalami penurunan secara month-on-month, di mana nilai impor pada Januari 2019 adalah 830,5 juta dolar AS.
Secara year-on-year, nilainya juga mengalami penurunan hingga 43,7 juta dolar AS dibandingkan pencapaian pada Februari 2018 sebesar 679,4 juta dolar AS.
Plastik dan barang dari plastik menduduki peringkat keempat dalam lima besar barang dengan penurunan impor terbesar pada Februari 2019. Mesin peralatan listrik menduduki peringkat pertama dengan penurunan hingga 477,3 juta dolar AS, disusul oleh besi dan baja yang turun hingga 474,5 juta dolar AS.
Mesin-mesin/pesawat mekanis ada di posisi ketiga dengan penurunan 209,1 juta dolar AS dan bahan kimia organik berada di peringkat kelima yang penurunannya mencapai 152,7 juta dolar AS.