Senin 11 Mar 2019 17:42 WIB

Petani Hortikultura Kerinci Nikmati Untung Besar

Budi daya sayuran di wilayah Kayu Aro dikembangkan dengan pendekatan kawasan.

Red: EH Ismail
Kunjungan kerja Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Suwandi, ke Kabupaten Kerinci, Jambi, Sabtu (9/3).
Foto: Humas Kementan.
Kunjungan kerja Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Suwandi, ke Kabupaten Kerinci, Jambi, Sabtu (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, KERINCI -- Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan perhatian cukup besar untuk pengembangan budi daya komoditas hortikultura di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Tahun ini, alokasi anggaran untuk pengembangan kawasan sayuran dan buah-buahan tersebut mencapai Rp 5,3 miliar untuk dimanfaatkan secara tepat sasaran, sehingga berdampak pada peningkatan produksi serta kesejahteraan petani.

Berkat program tersebut, kini Kabupaten Kerinci menjadi sentra produksi sayuran yang berkembang semakin maju. Haji Hermawis, salah seorang petani bawang merah dari Kayu Aro Kerinci mengungkapkan penghasilan yang fantastis dari budi daya bawang merah.

“Saya tanam bawang merah varietas Baki Adro. Ini varietas lokal, sudah kelihatan untungnya,” kata Hermawis saat menerima kunjungan kerja Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Suwandi di Kerinci, Sabtu (9/3).

Menurut  Hermawis, biaya produksi menanam bawang merah sekitar Rp 40 juta hingga 50 juta per hektare. Hasilnya bisa mencapai 20 ton per hektare dengan harga jual saat ini mencapai Rp 10 ribu per kilogram. Jadi, ya bersyukur ini rejeki,” ujar dia.

Hal yang sama pun dialami Romi, petani cabai di Kayu Aro. Romi mengatakan, dia menanam cabai menggunakan varietas lokal jenis loker alias Lombok Kerinci. Biaya produksi Rp 60 sampai 70 juta per hektare.

“Tanamannya tinggi, hasil panen mencapai 32 sampai 40 ton per hektare. Harga jual kini Rp 10 ribu per kilogram. Artinya, sangat untung,” kata Romi.

Afrizal, petani kentang varietas granola juga menikmati untung besar. Dia menuturkan, apabila menggunakan benih dari hasil panen sendiri, modal tanam yang dibutuhkan sekitar Rp 40 juta per hektare. Akan tetapi, apabila benihnya melalui pembelian, biayanya mencapai Rp 60 juta per hektare.

“Hasil produksi dari benih sendiri 15 ton per hektare. Harga kentang bila normal minimal bisa Rp 7 ribu per kilogram,” kata Afrizal.

Demikian juga diungkapkan Reno Efendi, petani kentang dari Kecamatan Kayu Aro Barat. Reno menanam kentang varietas granula seluas enam hektare. Biaya produksi sekitar Rp 60 juta per hektare dengan hasil 17 sampai 20 ton per hektare dan harga jual normal Rp 7 ribu per kilogram.

“Kami di sini menggunakan pupuk dan pestisida sangat rendah karena tanahnya subur. Di sini air tersedia sepanjang waktu sehingga bisa tanam terus-menerus,” ungkapnya.

Masih di tempat yang sama, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kerinci Radium Halis mengatakan, wilayah Kayu Aro merupakan sentra sayuran. Di antaranya kentang, cabai, bawang merah, kubis, dan kol.

“Potensi lahan di sini sangat luas dan subur. Kami dorong terus petani meningkatkan produksi, diberi pelatihan dan pendampingan,” katanya.

Menurut Radium, produk sayuran Kerinci sudah merambah pasokan ke Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, bahkan masuk ke Jakarta.

Dirjen Hortikultura Suwandi menjelaskan, budi daya sayuran di wilayah Kayu Aro dikembangkan dengan pendekatan kawasan. Dengan demikian, hulu hingga hilir dikelola secara komprehensif.

“Ini kawasan sudah pada kelas mantap, aspek hulu dan on-farm sudah maju dan sudah saatnya untuk hilirisasi,” ujar dia.

Dirjen termuda di lingkup Kementan ini melanjutkan, sesuai arahan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, petani sayuran Indonesia diharapkan naik kelas dan generasi muda tertarik terjun ke lapangan menjadi petani milenial.

“Caranya, petani harus efisienkan biaya produksi, bangun koperasi, dan bermitra dengan pelaku usaha, supermarket, eksportir, dan lainnya. Petani harus berpikir lebih maju,” kata Suwandi

Suwandi pun mengingatkan untuk mensiasati melimpahnya produksi. Banyaknya produksi harus diatasi bersama-sama dan petani jangan berjalan sendiri-sendiri. Caranya, pertama, efisienkan biaya produksi dengan menggunakan benih unggul dan pestisida maupun pupuk organik dan hayati dari buatan sendiri dari bahan yang ada di sekitar.

Kedua, melakukan budi daya sayuran dengan sistem tumpang sari. “Petani tidak bergantung pada satu komoditas saja.”

Ketiga, membentuk koperasi dan sejenisnya. Dengan koperasi, ibarat sapu lidi, petani bersama-sama akan menjadi kuat, sehingga petani setelah berkelompok menjadi naik kelas. “Koperasi bisa melayani input sehingga benih unggul, pupuk, dan pestisida seragam diterima petani dan sekaligus sebagai sarana transfer teknologi sehingga sayuran dihasilkan berkualitas tinggi yang seragam,” ujar Suwandi.

Dengan koperasi, dia melanjutkan, petani pun mudah bermitra mendapatkan akses pembiayaan, kredit, asuransi, dan pemasaran bersama pelaku pasar modern hingga eksportir. Petani juga mendapatkan akses hilirisasi dengan mudah.

“Ke depan, harus dikembangkan pasar lelang sayuran dan pemasarannya secara online,” terangnya.

Di masa mendatang, petani juga diminta tidak hanya menjual dalam bentuk sayuran segar, tapi bentuk olahan atau memulai dengan industri skala rumah tangga. “Ya, misalnya bawang goreng dan cabai bubuk olahan yang dibuat Kelompok Usaha Bersama di Kayu Aro ini,” kata Suwandi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement