REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong meminta tidak perlu mengkhawatirkan investasi modal asing di perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce) dan rintisan (start up) termasuk unicorn akan lari ke luar negeri.
"Perlu saya tekankan, modal yang ditanam ke e-commerce dan start up ini sangat beda sekali dengan deposito di perbankan yang istilahnya bisa kapan saja ditarik. Investor di e-commerce dan start up itu sadar, sekali masuk tidak mudah keluar," ujar Lembong saat menjadi pembicara dalam Forum Merdeka Barat (FMB) di Jakarta, Selasa (26/2).
Lembong menuturkan, hanya ada tiga cara agar modal e-commerce berubah, yakni dengan melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO), jual ke investor lain atau nilainya diminimalkan. "Jadi investor yang masuk ke start up dan e-commerce sudah sadar sekali masuk harus berkomitmen total dan potensi keuntungannya mencukupi. Keuntungan yang dikejar cukup besar sehingga mereka siap menghadapi risiko tersebut," katanya.
Pria yang merintis kariernya di industri modal ventura itu juga mengatakan, sumber pendanaan domestik dan asing di sektor e-commerce dan rintisan digital relatif sudah berimbang. Selain itu, lebih dari 95 persen pemilik dan pekerja di unicorn adalah orang Indonesia.
Ia menjelaskan, penempatan dana melalui modal ventura memang berbeda dengan konsep bisnis konvensional. Pendiri atau inovator dari perusahaan e-commerce dan start up menjadi penopang bisnis yang didanai modal ventura.
"Peran pemodal ventura lebih pasif dibandingkan pemodal di bisnis lainnya. Mereka lebih percaya pendiri dan pelaksana bisnis e-commerce sebagai pengendali perusahaan. Investor modal ventura tidak mau membuat pendiri atau inovator dari bisnis e-commerce kehilangan peran," ujar Lembong.
Sekitar tiga tahun lalu, ia mulai menyadari betapa besarnya arus modal ke industri e-commerce dan start up. Saat itu, tiba-tiba muncul berita ada perusahaan rintisan yang mendapat suntikan dana dengan nilai triliunan.
"Kalau dijumlah besar sekali, tapi di BKPM tidak ada datanya. Mayoritas pendiri e-commerce adalah anak-anak muda yang kebanyakan tidak tahu ada prosedur pendaftaran di BKPM. Pertumbuhan arus modal unicorn begitu cepat, terus terang kita kewalahan untuk memonitor dan tracking," ujar Lembong.
Selain dinamisnya data modal masuk untuk e-commerce dan start up, ia juga mengatakan struktur finansial e-commerce dan start up juga cukup rumit dimana antarkendali usaha dan modal yang disetor dibedakan.
"Strukturnya cukup ruwet dan menganalisis ini semua tidak gampang," katanya.
Berdasarkan data BKPM, rata-rata total investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) setiap tahunnya mencapai 9 miliar dolar AS sampai 12 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, investasi yang masuk ke e-commerce dan startup sekitar 15-20 persen dari total FDI tersebut.
"Jadi sekitar 2 sampai 2,5 miliar dolar AS per tahun total perkiraan kami masuk ke e-commerce dan start up company," ujar Lembong.
Di Indonesia, ada empat unicorn atau start up yang memiliki nilai di atas 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 14 triliun antara lain Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.