REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah menyiapkan adanya kebijakan yang mengatur fortifikasi pangan. Tahun ini, regulasi berupa Peraturan Menteri Perindustrian itu diharapkan rampung.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pelaku industri siap mendukung kebijakan yang akan dibuat. Namun ia meminta agar pemerintah melibatkan pelaku usaha dalam membahas kebijakan tersebut agar tidak menjadi hambatan ke depannya.
"Jangan sampai menjadi beban tambahan untuk konsumen," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (19/2).
Lagipula, ia melanjutkan, selama ini industri makanan dan minuman (mamin) sudah melakukan fortifikasi pangan baik yang wajib maupun sukarela. Fortifikasi pangan yang wajib dilakukan industri adalah pengayaan zat besa pada terigu dan garam dengan pengayaan iodium.
Sedangkan kewajiban penambahan vitamin A pada minyak goreng masih dalam penundaan. Namun, diakui Adhie banyak industri yang melakukan fortifikasi secara sukarela seperti vitamin, mineral dan lainnya pada produk mereka. Meski tidak ada benefit yang ditawarkan oleh pemerintah.
"Pelaku industri lebih melihat diferensiasi produk sekaligus mendukung upaya perbaikan gizi masyarakat," katanya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan, fortifikasi pangan merupakan intervensi yang cost effective dengan menambahkan zat gizi pada bahan makanan.
Upaya yang tidak kalah penting adalah bagaimana mendorong pola makan masyarakat yang beragam yang kaya akan zat gizi mikro, misalnya dengan meningkatkan konsumsi pangan hewani, kacang-kacangan, dan sayur dan buah.
"Untuk itu, perlu upaya untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan dalam negeri termasuk eksplorasi sumber pangan lain yang beragam dan bergizi tinggi, pengembangan multi micro nutrient (MMN) dan biofortifikasi untuk memperkaya kandungan gizi pada tanaman pangan, serta intervensi-intervensi lain," ujarnya dalam acara Workshop Nasional Fortifikasi Pangan di Jakarta, Selasa (19/2).