REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai salah satu alasan avtur di Indonesia dinilai masih mahal karena adanya faktor ongkos ditribusi yang kurang efisien. Bhima menilai tidak efisiennya distribusi karena Pertamina dan Pemerintah terlambat membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara di luar jawa.
Sehingga selama ini pasokan avtur masih bersumber dari Jawa. "Akar masalahnya ada di distribusi avtur yang belum efisien. Pertamina dan pemerintah terlambat membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara diluar jawa," ujar Bhima saat dihubungi Republika, Rabu (13/2).
Bhima mencontohkan, persoalan tidak efisiennya distribusi ini terlihat dari perbedaan dan gap harga jual avtur dari satu daerah ke daerah lain. Kata Bhima, selisihnya bahkan mencapai 13,5 persen.
"Bahan bakar avtur jenis Jet A di bandara Soekarno Hatta dijual Rp8.210 per liter. Sementara di Kualanamu Medan Rp9.320 per liter," ujar Bhima.
Gap lebih besar tersebut juga terlihat jika perbandingannya antara Indonesia dengan negara tetangga. Bhima menjelaskan harga avtur Jet A rata-rata di negara Asia Pasifik sebesar 77 usd per barel atau setara Rp 6.850 per liter (kurs Rp 14 ribu per dolar AS).
"Disparitas harga yang terlalu lebar membuat maskapai menanggung ongkos yang terlalu mahal," ujar Bhima.
Selain persoalan biaya distribusi ini, kata Bhima faktor pergerakan harga minyak, kurs rupiah dan juga tak ada persaingan harga menjadi persoalan avtur ini menjadi makin menganga. "Faktor utama adalah naik turunya harga minyak dunia, kurs rupiah dan biaya distribusi. Sama persaingan avtur yang dimonopoli Pertamina," ujar Bhima.