REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat penetrasi penggunaan layanan keuangan melalui non perbankan atau financial technology (fintech) baru lima persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding dengan negara lain seperti Cina yang menduduki peringkat pertama dengan persentase 67 persen.
Sementara itu, Hong Kong sudah menyentuh 57 persen dan New Zealand 54 persen. Data ini dirilis oleh perusahaan konsultan manajemen bisnis McKinsey & Company dalam laporan terbarunya berjudul Digital Banking in Indonesia: Building Loyalty and Generating Growth. Partner Indonesia McKinsey & Company, Guillaume de Gantes mengatakan, kondisi tersebut membuktikan bahwa berbicara Indonesia, kita belum dapat terlepas dari perbankan.
Guillaume mengatakan, tingkat penetrasi fintech tersebut dapat terus berkembang, bahkan mencapai 15 persen atau menyaingi Australia yang sudah menyentuh 17 persen. Terutama dengan adanya aplikasi pembayaran seperti Gopay dan Ovo.
"Tapi, itu butuh waktu beberapa tahun," ucapnya ketika ditemui dalam konferensi pers di Kantor McKinsey & Company, Jakarta, Senin (11/2).
Saat ini, tantangan terbesar dalam penetrasi fintech tersebut adalah masyarakat Indonesia yang masih nyaman menggunakan uang tunai atau cash. Bahkan, dibanding dengan India, Indonesia masih lebih sering membawa dan menggunakan cash dibandingkan mengakses layanan digital.
Tantangan lain yang dirasakan adalah rendahnya tingkat inklusi keuangan Indonesia. Menurut catatan Bank Indonesia, akses masyarakat terhadap lembaga keuangan lembaga baru mencapai 49 persen. Pemerintah menargetkan, angka tersebut dapat naik menjadi 75 persen pada 2019.
Guillaume menuturkan, poin lain yang harus diperhatikan Indonesia adalah model bisnis. Indonesia belum dapat menyamai posisi Cina yang sudah memiliki platform aplikasi chatting khusus.
"Pada akhirnya, mereka memiliki model solusi pembayaran yang khusus juga. Indonesia belum sampai tahap ini," ujarnya.
Di Asia berkembang, ada dua pasar utama solusi pembayaran non perbankan, Cina dan India dengan masing-masing tingkat penetrasi adalah 67 dan 39 persen. Hal ini sebagian besar disebabkan keberhasilan solusi pembayaran yang sudah mendunia dari perusahaan seperti Alibaba, Tencent dan PayTM.
Menurut data dari McKinsey, apabila digabungkan, Alibaba dari Alibaba dan WeChat Pay dari TEncent memiliki pangsa sekitar 94 persen dari pasar pembayaran digital di Cina yang bernilai 6 triliun dolar AS. Keduanya memiliki basis nasabah aktif lebih dari 500 juta. Sementara itu, PayTM dari India memiliki lebih dari 200 juta nasabah dan lima juta merchant.
Tapi, Guillaume menjelaskan, Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan penetrasi fintech. Sebab, dalam survei yang dilakukan pada 2017, pertumbuhan digitalisasi di Indonesia menjadi salah satu tercepat dari 17 negara. Bahkan, pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan Brazil dan Cina.
Beberapa faktor mempengaruhi akselerasi migrasi masyarakat ke platform digital ini. Selain peningkatan adopsi internet dan ponsel pintar secara cepat, pertumbuhan e-commerce juga memberikan pengaruh.
"E-commerce mendorong masyarakat untuk akses layanan non konvensional," kata Guillaume.
Menurut Guillaume, perbankan harus segera menangkap tren ini. Sebab, berdasarkan proyeksi McKinsey, akan terjadi kesenjangan besar antara jumlah pengguna ponsel dengan pemilik akun bank. Pada 2018, selisih keduanya sudah mencapai 13 juta orang dan akan terus terjadi hingga 2025.
Untuk mengatasi hal ini, Guillaume menganjurkan agar pihak perbankan terus menggencarkan kolaborasi dengan perusahaan fintech. Apabila bank dapat membangun kemampuan untuk memanfaatkan digitalisasi, mereka akan tetap relevan dalam lingkungan yang dinamis dan memiliki ritme cepat.
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Mercy Simorangkir mengatakan, kolaborasi sudah dilakukan sejumlah perusahaan fintech dengan berbagai bank. Di antaranya untuk meningkatkan jumlah nasabah bank.
"Jadi, karena masyarakat menggunakan e-wallet dari salah satu perusahaan fintech, mereka tertarik buka akun di bank itu. Kenaikannya mencapai sekitar 940 ribu orang," ujar Mercy tanpa menyebutkan nama perusahaan dan bank yang dimaksud.
Mercy berharap, kolaborasi antara fintech dengan perbankan dapat terus terjalin. Sebab, teknologi yang terus berkembang saat ini tidak sepatutnya menimbulkan persaingan antara kedua pihak tersebut. Teknologi seharusnya mampu mendorong kolaborasi yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
Mercy menambahkan, kolaborasi juga sudah dilakukan perusahaan fintech dengan institusi pendidikan di bidang ekonomi. Keduanya memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat mengenai manajemen keuangan.
"Kita berharap, akan semakin banyak anggota Aftech yang melakukan kerja sama ini, terutama membangun literasi keuangan," katanya.
Guna mendukung kolaborasi ini, Mercy berharap keterlibatan pemerintah secara aktif. Di antaranya, untuk membangun infrastruktur seperti jaringan internet yang memadai.