Rabu 30 Jan 2019 09:40 WIB

Kembangkan Mobil Listrik, Pemerintah Tarik Investor Jepang

Jepang merupakan negara yang teknologi kendaraan listriknya sudah berkembang

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Rancangan Mobil Listrik (ilustrasi)
Foto: mobilistrik.blogspot
Rancangan Mobil Listrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya menarik investasi di sektor industri pembuatan baterai untuk mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik dalam negeri. Sebab, teknologi baterai merupakan bagian penting sehingga dapat meningkatkan komponen lokal.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan ke investor Korea dan negara lain terkait potensi investasi.

"Saat ini, kami berharap Jepang juga bisa masuk ke wilayah yang sedang kita butuhkan untuk pengembangan kendaraan listrik," katanya dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (30/1).

Menurut Harjanto, Jepang menjadi salah satu negara potensial karena teknologi kendaraan listriknya yang sudah berkembang. Hal ini dapat mendukung investasi bahan baku baterai yang sudah ada di Indonesia, tepatnya di Marowali, Sulawesi Tengah.

Di Morowali, Harjanto menambahkan, sudah ada investor material yang dalam waktu 16 bulan ke depan sudah siap beroperasi. "Maka itu berikutnya, kami terus dorong untuk pembangunan pabrik baterainya," ucapnya.

Pada Jumat (11/1), Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan telah meresmikan peletakan batu pertama pembangunan PT QMB New Energy Materials di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.

Proyek industri smelter berbasis teknologi hydro metallurgy tersebut akan memenuhi kebutuhan bahan baku baterai lithium generasi kedua nikel kobalt yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik. Total investasi yang ditanamkan sebesar 700 juta dolar AS dan akan menghasilkan devisa senilai 800 juta dolar AS per tahun.

Dari pabrik yang bakal menyerap total tenaga kerja sebanyak 2.000 orang itu, setiap tahunnya akan memproduksi sebanyak 50 ribu ton produk intermediate nikel hidroksida, 150 ribu ton baterai kristal nikel sulfat, 20 ribu ton baterai kristal sulfat kobalt, dan 30 ribu ton baterai kristal sulfat mangan.

Harjanto menegaskan, komitmen Kemenperin dalam memacu kendaraan listrik terwujud dari inisiasi pembuatan peta jalan pengembangan industri otomotif nasional. Salah satunya, fokus pada produksi kendaraan emisi karbon rendah atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang di dalamnya termasuk kendaraan listrik.

"Selain itu, kami juga sudah menyelesaikan pengkajian terhadap rancangan Peraturan Presiden tentang kendaraan bermotor listrik," tutur Harjanto

Masih ada beberapa langkah lain yang perlu dilakukan dalam memperkenalkan kendaraan ramah lingkungan ini. Di antaranya terkait kenyamanan berkendara oleh para pengguna, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, adopsi teknologi, dan regulasi.

Menurut Harjanto, regulasi mengenai kendaraan listrik juga membahas dukungan kebijakan fiskal agar kendaraan electrified vehicle dapat dimanfaatkan oleh para masyarakat pengguna tanpa harus dibebani biaya tambahan yang tinggi. Misalnya, dukungan insentif fiskal berupa tax holiday atau mini tax holiday untuk industri komponen utama seperti produsen baterai dan pembuat motor listrik (magnet dan kumparan motor).

“Kami juga telah mengusulkan super tax deductions sampai dengan 300 persen untuk industri yang melakukan aktivitas R&D&D (research and development, and design),” ujarnya Harjanto.

Harjanto menyampaikan, pemerintah serius dalam mengembangkan kendaraan listrik karena memiliki target utama yang ingin dicapai, yakni ketahanan energi dan ramah lingkungan. Guna menangani masalah energy security, kendaraan listrik merupakan salah satu alternatif yang kita pakai untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM).

Pemerintah menilai, kendaraan bermotor listrik dapat mengurangi pemakaian BBM serta memangkas ketergantungan impor BBM. Ini berpotensi menghemat devisa kurang lebih Rp 798 triliun.

Sejalan target tersebut, pada peta jalan pengembangan industri otomotif nasional, populasi mobil listrik pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 20 persen atau sekitar 400 ribu unit dari total produksi di dalam negeri sebesar dua juta unit. Di tahun yang sama, populasi motor listrik dibidik sebanyak dua juta unit.

Deputy Director-General Manufacturing Industries Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) Yoji Ueda menyampaikan, Indonesia dan Jepang telah lama menjalin hubungan kerja sama yang komprehensif terutama dalam pengembangan sektor industri.

Di sektor otomotif, Jepang telah memainkan peran utama dalam kontribusi sebagai pemain bisnis utama. "Selain itu, Jepang dengan sumber daya alam yang terbatas, terus melakukan pengamanan pasokan energi yang stabil," kata Ueda.

Dalam acara Indonesia-Japan Automotive Seminar pada Selasa, METI memperkenalkan kebijakan terbaru tentang elektrifikasi industri otomotif. METI juga menjelaskan tentang langkah-langkah kebijakan untuk promosi penetrasi xEV (keragaman kendaraan listrik) di Jepang.

Ueda menuturkan, penting bagi pemerintah untuk memilih xEV dari sudut pandang yang seimbang. Utamanya, antara keamanan energi, pengurangan emisi gas rumah kaca, dengan kebutuhan pembeli.

"Untuk mencapai tujuan ini, Jepang mendorong kerja sama dengan negara-negara lain dan secara aktif berbagi pengalaman mengenai pengembangan kendaraan listrik," ucapnya.

Tahun ini, Jepang akan menjadi tuan rumah G20 dengan salah satu isu yang akan dibahas adalah hasil penelitian kendaraan listrik dari sudut pandang akademik. Hasil riset tersebut diharapkan menjadi pondasi pengembangan industri di masa depan guna mengupayakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan memajukan industri otomotif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement