Selasa 22 Jan 2019 19:10 WIB

Pelambatan Ekonomi Membayangi, Istana: Bantalan Kita Kuat

Pemerintah melakukan konsolidasi kebijakan fiskal-moneter untuk memitigasi persoalan

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istana ikut memberikan tanggapan soal risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi yang membayangi Indonesia, menyusul pemangkasan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika, menyebutkan bahwa Indonesia memiliki bantalan sosial ekonomi yang kukuh sehingga cukup siap menghadapi dinamika ekonomi global.

"Sejak 4 tahun lalu belanja ekonomi naik 2 kali lipat ketimbang periode 2010-2014. Anggaran infrastruktur naik sangat besar. Sementara itu, belanja proteksi sosial naik sekitar 10 kali lipat. Ini yang membuat bantalan sosial-ekonomi menjadi sangat kukuh," jelas Erani, Selasa (22/1).

Erani menegaskan bahwa dalam menjalankan roda perekonomian, pemerintah tetap bekerja sesuai target yang tertuang dalam asumsi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Meski begitu, Erani mengakui bahwa kewaspadaan terhadap situasi ekonomi global atau politik memang harus dilakukan.

"Berkat kewaspadaan itu, pertumbuhan ekonomi terus tumbuh meskipun negara lain justru turun pertumbuhannya, seperti Cina," katanya.

Erani juga menyebutkan, pemerintah terus melakukan konsolidasi kebijakan fiskal-moneter untuk memitigasi aneka persoalan. Modal terpenting yang dimiliki Indonesia, ujar Erani, adalah makroekonomi yang solid. Di luar pertumbuhan ekonomi, pemerinta juga mencatat inflasi selama 4 tahun terakhir ini selalu di bawah 3,7 persen.

"Daya beli terjaga. Kondisi fiskal juga makin bugar. Defisit fiskal hanya 1,7 persen dan defisit keseimbangan primer tinggal Rp 1,8 triliun, terendah sejak 2012," kata Erani.

Diberitakan sebelumnya, IMF mengingatkan negara-negara berkembang untuk menjaga rasio utang tetap berkelanjutan di tengah dinamika ekonomi dunia yang semakin menantang. Peringatan IMF ini menyusul pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,5 persen di 2019 dan 3,6 persen untuk 2020, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yakni 3,7 persen untuk 2019 dan 2020 berturut-turut.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang 'suram' ini dirilis IMF dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, Senin (21/1) kemarin. IMF menggaris bawahi sejumlah risiko yang menekan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang masih berlangsung hingga rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

Dalam paparan World Economic Outlook (WEO) yang diterbitkan IMF pada Januari 2019 ini, IMF menyebut bahwa pasar negara berkembang sebetulnya sudah terbukti 'ampuh' mengatasi kondisi eksternal yang sulit. Selama beberapa bulan terakhir, ekonomi dunia memang diramaikan dengan dinamika tensi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, naiknya suku bunga bank sentral AS, tumbuhnya nilai tukar dolar AS, hingga volatilitas harga minyak mentah.

"Di beberapa negara, menangani utang swasta yang tinggi, neraca pembayaran, dan ketidakseimbangan aset pada neraca perusahaan, membutuhkan kerangka makroprudensial yang kuat," tulis IMF dalam laporannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement