REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta mengatakan, pergerakan rupiah pada Senin (21/1) ini masih akan banyak dipengaruhi sejumlah sentimen eksternal. Salah satunya, pergerakan rupiah dipengaruhi oleh rilis data ekonomi Cina yang melambat.
"Data makro di Cina mengalami penurun pertumbuhan ekonomi, turun dari 6,5 persen menjadi 6,4 persen. Tingkat pengangguran juga meningkat menjadi 4,9 persen, jadi wajar, kemungkinan ini secara tidak langsung mempengaruhi kinerja Yuan dan di sisi lain dolar juga menguat," ujar Nafan, Senin.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi sempat bergerak menguat 14 poin menjadi Rp 14.178 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.192 per dolar AS. Namun kemudian rupiah bergerak melemah menjadi Rp 14.215 per dolar AS.
Selain itu, sentimen eksternal lainnya ialah terkait Brexit. Perdana Menteri Inggris Theresa May menghadapi kekalahan di depan Parlemen Inggris yang menolak draf Brexit yang diajukannya.
Kendati demikian, May masih bisa mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri di tengah serangan no confidence vote dari partai oposisi, Jeremy Corbyn. Hal ini dinilai positif oleh pasar dengan catatan bahwa hal terburuk, yaitu no-deal Brexit bisa terelakkan.
Theresa May sendiri akan kembali berpidato di depan parlemen Inggris menyampaikan perkembangan rencana Brexit tersebut. "Para pelaku pasar global akan menantikan pidato Theresa May. Itu yang akan memengaruhi GBP. Kalau GBP menguat, rupiah juga akan menguat, tapi jika melemah ya akan membuat rupiah juga melemah," ujar Nafan.
Sementara itu, dari sisi domestik sendiri, masih minim sentimen positif. Ia memprediksi rupiah hari ini akan berada di kisaran Rp 14.155 per dolar AS hingga Rp 14.255 per dolar AS.