REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Papua Nugini (PNG) dan Fiji berminat tertarik untuk melakukan pengembangan mikropropagasi tanaman perkebunan. Mikropropagasi ini dinilai mampu meningkatan produksi dan mutu tanaman serta produksi metabolit sekunder.
Peneliti Kultur Jaringan Sri Suhesti mengatakan, umumnya perbanyakan tanaman kelapa dan tanaman lain melalui biji belum menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Marena keragaman hasilnya, maka perbanyakan melalui biji bermanfaat untuk tujuan pemuliaan dan kurang cocok untuk perbanyakan massal.
"Oleh sebab itu, tanaman yang berasal dari hasil mikropropagasi seperti kultur jaringan bisa menjadi pilihan yang tepat karena menghasilkan kualitas tanaman seperti yang diharapkan dan juga lebih efisien," ujarnya saat kunjungan Duta Besar Papua Nugini untuk Malaysia Peter Vincent, Duta Besar Fiji untuk Indonesia Isaac Grace beserta Tim International Coconut Community (ICC) di kantor Puslitbang Perkebunan Bogor, Kamis (17/1) melalui siaran tertulis.
Dubes Peter Vincent mengharapkan ada kerja sama antara Papua Nugini dan Indonesia dalam pengembangan kelapa dan tanaman perkebunan lainnya melalui mikropropagasi. Mikropropagasi ini dinilai penting untuk memenuhi kebutuhan benih kelapa unggul dan bermutu baik dalam jumlah besar dan waktu relatif singkat serta dapat didistribusikan dengan mudah.
"Selain itu, perlu juga dilakukan program capacity building untuk peningkatan kompetensi teknisi, baik di pemerintahan maupun swasta," ujar dia.
Hal serupa juga disampaikan Duta besar Fiji untuk Indonesia Isaac Grace terkait kontribusi terhadap capacity building untuk personil di Taveuni Research Centre dan Koronivia Research Station yang telah dilakukan sejak 2018 atas koordinasi ICC.
Sementara itu, Kepala Bidang Kerja Sama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian (KSPHP) Puslitbang Perkebunan Jelfina C Alouw mengapresiasi kunjungan para diplomat negara Pasifik dan Tim ICC.
Ia berharap, teknologi dan inovasi yang telah dihasilkan oleh Balitbangtan khususnya Puslitbang Perkebunan dapat diadopsi dan dikaji terlebih dahulu sesuai kondisi ekonomi, agroklimat dan sosial budaya masyarakat setempat.
"Koordinasi dengan Tim ICC dengan para pakarnya dibutuhkan di kedua negara sesuai aturan yang berlaku dan kesepakatan oleh kedua belah pihak," kata dia.