Selasa 08 Jan 2019 16:59 WIB

Dirjen EBTKE: Program B30 akan Dijalankan Mulai 2020

Pemerintah masih akan membahas nilai keekonomian penggunaan bahan bakar B30

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Rida Mulyana - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM
Foto: Republika/ Wihdan
Rida Mulyana - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menerapkan penggunaan 30 persen minyak sawit sebagai campuran bahan bakar biodiesel atau B30. Rencananya program B30 ini baru akan dibahas oleh pemerintah pada 2020 mendatang.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Rida Mulyana menjelaskan untuk B30, Peraturan Menteri yang sekiranya pernah ditargetkan keluar pada 2019 ini baru akan dibahas pada 2020. Sebenarnya, kata Rida, pihaknya sudah melakukan uji coba program B30.

"Kita sudah merencanakan untuk uji coba, hanya saja nyambung dengan pertanyaan berikutnya bagaimana dengan green fuel. Kita akan mengundang PLN dan Pertamina. Isunya adalah tidak jauh dari keekonomiannya," ujar Rida di Kantornya, Selasa (8/1).

Dalam kesempatan tersebut Rida juga menyinggung soal green fuel. Terkait green fuel, menurut Rida, saat ini masih ada beberapa poin yang perlu dibahas secara detil.

Pertama, konsistensi ketersediaan katalis untuk pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dan bahan bakar fosil. Ini menjadi penting, sebab katalis tersebutlah yang menjadi bahan utama dalam memproduksi green fuel.

Kedua, persoalan kilang. Menurutnya, untuk membuat kilang baru Pertamina membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Ia menjelaskan persoalan kilang masih berorientasi memanfaatkan kilang yang sudah ada, atau melakukan modifikasi dan opsi membuat kilang baru.

"Ketiga keekonomiannya, penggunaan bio ini sedikit mengurangi ketergantungan impor. tetepi tetep melihat keekonomian, sekarang lagi turun (ICP) CPO juga begitu mungkin feb akan naik. Termausk konversai PLTD mengunakan CPO, kalau akan diteruskan sementara kondisinya akan misalkan bionya lebih mahal dari crudenya, maka insentfi apa yang dierikan dari pemerintah," jelas Rida.

Hal hal ini menurut Rida yang perlu menjadi konsen pembahasan sebelum kebijakan green fuel benar benar diterapkan. Ia menjelaskan, apabila terburu buru, maka jangan sampai ada salah satu pihak tidak bisa melaksanakan mandat green fuel ini secara maksimal.

"Itu yang kemudian akan kita bahas satu persatu. Itu sudah dijadikan bahan diskusi. kita sudah mengindentifikasi dimana saja, berapa kapasitasnya," ujar Rida.

Sementara itu Pertamina mengaku sudah melakukan uji coba dan serangkaian penelitian soal rencana green fuel ini. Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif menjelaskan Pertamina sedang menyiapkan beberapa kilang yang akan digunakan untuk memproduksi green fuel ini.

Ia menjelaskan kilang pertama yang disiapkan adalah Kilang Plaju di Sumatera Selatan. Sejak awal Desember 2018, Refinery Unit (RU) III Plaju telah mampu mengolah CPO menjadi bensin ramah lingkungan (green gasoline) dan LPG ramah lingkungan (green LPG).

Setelah Kilang Plaju, uji coba komersial produksi bahan bakar ramah lingkungan juga akan dilakukan di Unit Kilang Cilacap (Jawa Tengah), Kilang Balongan (Jawa Barat) dan Kilang Dumai (Riau). Produk yang dihasilkan tidak hanya bensin ramah lingkungan tetapi juga solar ramah lingkungan (green diesel) dan avtur ramah lingkungan (green avtur). Uji Coba dilakukan hingga 2020 dan ditargetkan bisa berproduksi secara berkelanjutan pada 2023.

"Pencampuran langsung CPO dengan bahan bakar fosil di kilang ini secara teknis lebih sempurna dengan proses kimia, sehingga menghasilkan bahan bakar bensin dengan kualitas lebih tinggi karena nilai octane mengalami peningkatan," ujar Budi pekan lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement