REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memasang target untuk menjadi pemain utama dalam industri halal global. Saat ini, Indonesia masih menjadi konsumen terbesar di pasar halal global yang mencakup industri makanan halal, kosmetik, fashion, hingga pariwisata.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan Indonesia masuk dalam 10 besar industri halal di bidang keuangan syariah, wisata halal dan fashion. Sementara makanan, media dan rekreasi, juga farmasi dan kosmetik masih tertinggal.
Menurut data The State of Global Islamic Economy Report 2018/2019, secara keseluruhan Indonesia menempati posisi ke-10 dalam pengembangan ekonomi syariah global. Di posisi pertama adalah Malaysia, diikuti Uni Emirate Arab, Bahrain, Arab Saudi, Oman, Yordania, Qatar, Pakistan, dan Kuwait.
"Dengan potensi kita yang besar, kita bisa menjadi pemain utama dalam industri halal ini, caranya dengan membentuk rantai nilai halal," katanya dalam pembukaan IIMEFC ISEF 2018 di Grand City, Surabaya, Kamis (13/12).
Selain dengan mengembangkan instrumen keuangan syariah, pembentukan rantai nilai halal juga dengan pengembangan usaha mikro. Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo mengatakan saat ini pemerintah masih fokus untuk membangun ekosistem.
Targetnya adalah tercipta integrasi antar rantai nilai halal yakni sektor usaha, sistem keuangan, hingga distribusi. Salah satu tujuan pembentukan ekosistem tersebut adalah peningkatan ekspor produk halal Indonesia.
"Target kita belum ada karena memang ini proses panjang, tapi BI selalu fokus pada dua dukungan, yakni pada pemberdayaan ekonomi dam keuangan syariahnya, dua hal itu harus berjalan berbarengan," kata Dody.
Ia menambahkan pemerintah akan menetapkan prioritas pada peningkatan sektor industri halal tertentu untuk ekspor. Seperti dari sektor makanan minuman, fashion dan kosmetik. Dody menilai Indonesia kuat di sektor tersebut.
Deputi Gubernur BI, Rosmaya Hadi K menyampaikan sektor fashion cukup potensial meski sektor tekstil dalam negeri sendiri masih menghadapi tantangan besar yang Iain. Berdasarkan data Bea Cukai sampai dengan September 2018, secara total sektor tekstil (TPT) masih konsisten sebagai penyumbang surplus bagi neraca dagang nasional.
Terutama dari produk garmen dan benang dengan share mencakup 85 persen dari total ekspor tekstil. Namun demikian, yang patut menjadi perhatian adalah produk bahan baku tekstil yang masih tercatat defisit. Antara lain produk serat (defisit 1,32 miliar dolar AS) dan benang (defisit 2,45 miliar dolar AS).
Hal ini mengindikasikan bahwa rantai nilai industri tekstil nasional masih belum optimal dari sisi dukungan industri hulu terhadap industri hilir. Industri hulu masih berorirntasi ekspor (rata-rata 30 persen produksi untuk ekspor) sementara industri hilirnya justru mengandung konten impor yang tinggi.
Beberapa eskportir utama telah menginisiasikan integrasi tersebut. Salah satunya adalah PT Sri Rejeki lsman atau dikenal dengan nama Sritex. "Bank Indonesia mendorong sinergi seluruh pihak untuk membangkitkan potensi sumber daya yang sejatinya cukup melimpah di Indonesia," kata dia.