REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku usaha pertambangan masih menemui kendala dalam penggunaan bahan bakar biodiesel sebesar 20 persen (B20). Padahal pemerintah telah mewajibkan pemakaian biosolar sebesar 20 persen mulai 1 September 2018 lalu.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono, beberapa permasalahan utama yakni kurangnya sosialisasi baik dari segi pasokan maupun penyimpanan. Mayoritas para kontraktor tambang membeli langsung ke pemasok bahan bakar (Pertamina, dan lain-lain), sementara itu sosialisasi B20 dari pihak pemerintah kebanyakan ke pemilik tambang.
"Dalam prakteknya beberapa kali pasokan B20 terlambat," kata Bambang Tjahjono di Jakarta, Kamis (6/12).
Selain permasalahan jaminan pasokan B20, kendala lainnya adalah bahan bakar B20 tidak bisa disimpan terlalu lama. Pihak pemerintah sudah menerbitkan Petunjuk Teknis penanganan biodiesel/biosolar dan melakukan sosialisasi di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia.
Salah satu rekomendasinya untuk penyimpanan biosolar adalah 3 bulan. Namun menurut Bambang, tidak ada petunjuk bagaimana menangani biosolar setelah 3 bulan.
B20 jika disimpan lama dapat merusak mesin karena ada endapan. Padahal beberapa proyek didaerah pelosok perlu menyimpan stok BBM lebih dari 3 bulan karena sulitnya memasok BBM (tergantung pasang surut sungai). Ini berbeda dengan penyimpanan solar atau B0 di tangki, yang bisa bertahan sampai dengan lima tahun.
"Masalah di penyimpanan itu, jadi itu disosialisasikan di internal kita saja, karena tidak ada sosialisasi (dari pemerintah). Paling tidak disosialisasikan supaya semua pengguna mengerti. Yang pakai mobil solar pun harus ngerti, ini lho konsekuensi tidak dipakai berbulan-bulan," jelasnya.
Kendati begitu, kata Bambang, bukan berarti solar menjadi rusak setelah tiga bulan. Hal ini bergantung kepada kadar air di udara, dan kelembaban udara di Indonesia termasuk tinggi.
Ditambah lagi, B20 lebih boros karena cepat berkurang, tidak seperti saat menggunakan solar. "Kalau tenaganya kurang untuk mencapai tenaga yang seimbang, ya otomatis lebih. Lebih boros 2-5 persen," katanya.
Dia berharap pemerintah segera mengatasi hal ini. Apalagi saat ini sekitar 50 kontraktor dari 117 perusahaan tambang di bawah naungan Aspindo telah menggunakan B20, dan mereka diwajibkan menggunakan bahan bakar ini oleh pemerintah.
"Sebulan itu kira-kira kami pakai sekitar 250 kiloliter, jadi setahun 3.000 kiloliter. Tapi kalau dibandingkan untuk seluruh industri, tambang menjadi pengguna terbesar," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso mengkritik kurang matangnya kebijakan penerapan B20 ini kepada industri. Dia menilai pemerintah seharusnya mematangkan program ini terlebih dahulu sebelum memberlakukan kepada industri.
"Program yang harusnya matang dulu baru diluncurkan bukan launching dulu baru dimatangkan. Kerugian yang tidak diprediksi itu kerugian uang, apa yang dicapai ini apakah setelah peresmian siap? Tadi saya lihat Pertamina tidak siap," kata Budi.