Kamis 22 Nov 2018 17:10 WIB

Mulai 2019, Pengusaha Wajib Taruh DHE di Rekening Khusus

Rekening khusus untuk DHE ini dibuka di bank devisa dalam negeri

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nidia Zuraya
Cadangan devisa (ilustrasi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Cadangan devisa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pemerintah telah menyelesaikan proses harmonisasi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam. Aturan tersebut direncanakan sudah bisa berlaku mulai Januari 2019.

"RPP sudah selesai diharmonisasikan, tinggal pengesahan dan implementasinya," kata Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso di Jember, Jawa Timur, Kamis (22/11).

Baca Juga

Dia berharap, seluruh Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan usaha di bidang SDA bisa ditempatkan dalam sistem keuangan Indonesia. Meski, dia juga memahami terdapat kebutuhan pengusaha untuk membayar dividen, utang valas, serta impor bahan baku.

Dalam aturan tersebut, DHE SDA wajib ditempatkan dalam rekening khusus pada bank devisa dalam negeri. Pemerintah juga akan memberikan insentif berupa keringanan tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga deposito di rekening tersebut.

Perincian diskon pajak bunga deposito yakni untuk simpanan 1 bulan terkena pajak 10 persen, 3 bulan 7,5 persen, 6 bulan 2,5 persen, dan lebih dari 6 bulan terkena 0 persen. Sementara, untuk devisa yang dikonversi ke rupiah terkena pajak 7,5 persen untuk yang disimpan 1 bulan, 5 persen untuk 3 bulan, dan 0 persen untuk yang disimpan 6 bulan atau lebih.

Setelah aturan tersebut disahkan, akan dibentuk aturan turunan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hal itu guna menjadi aturan teknis pelaksana kebijakan tersebut.

 

Apabila terdapat eksportir yang tidak taat terhadap aturan di atas, pemerintah dapat memberikan sanksi mulai dari larangan melakukan ekspor, denda, dan pencabutan izin usaha.

Susi menegaskan, aturan tersebut bukan upaya pemerintah untuk melakukan pengekangan melainkan hanya untuk mengatur lalu lintas devisa. "Jangan dipahami sebagai //capital control//. Karena banyak negara juga melakukan itu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement