Kamis 22 Nov 2018 14:42 WIB

Divestasi Freeport, Inalum Urus Dokumen Antitrust ke Cina

Inalum harus mengantongi empat dokumen antitrust terkait divestasi saham Freeport

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (dari kanan) di Kementerian Keuangan, Jakarta pada 12 Juli 2018.
Foto: Republika/ Wihdan
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (dari kanan) di Kementerian Keuangan, Jakarta pada 12 Juli 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan proses antitrust filing dari beberapa negara. Pengurusan antitrust filing ini menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam proses divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI).

Budi menjelaskan antitrust filing adalah dokumen pelaporan persaingan usaha. Saat ini, menurutnya, Inalum sedang fokus membereskan dokumen antitrust filing di dua negara, yaitu Cina dan Filipina.

"Ada empat dokumen antitrust filing yang mesti kita kejar sebelum transaksi, dua sudah keluar dari Jepang dan Korsel. Yang belum keluar dari Filipina dan Cina," ujar Budi di Soehana Hall, Kamis (22/11).

Budi menjelaskan dokumen ini sangat penting bagi Inalum dalam proses divestasi agar tidak dianggap sebagai kartel. "Mereka lihat kalau ada aksi korporasi dari perusahaan yang berkaitan dengan tembaga ingin pastikan tidak terjadi kartel sehingga menekan harga impor. Itu harus kasih persetujuan kalau tidak tidak boleh jual ke mereka. Misalnya di mata Cina itu impor. Izin keluar itu biar mereka bisa masuk ke Cina," ujar Budi.

Ia mengatakan dari sekian banyak negara yang perlu diurus, Cina menjadi salah satu negara yang cukup alot. Karena, ungkapnya, proses persetujuan dari negara ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

"Yang paling lama biasanya di Cina. Pagi ini saya baru dari Cina, ketemu lembaga anti trust Cina) minta tolong supaya bisa dibantu diterbitkan lebih cepat dan mereka memberikan sinyal positif," ujar Budi.

Nantinya, kata Budi masing masing negara ini perlu mengeluarkan surat sebagai bentuk perizinan proses divestasi bisa dilakukan. Negara negara yang dimaksud oleh Budi merupakan negara yang memang memiliki entitas dan hubungan bisnis dengan PTFI.

"Karena Cina itu impornya besar sekali untuk tembaga. Kalau Filipina, mereka punya smelter tembaga. Kalau tidak salah PTFI punya investasi di Filipina. Khusus tembaga iya," ujar Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement