Selasa 06 Nov 2018 06:28 WIB

Kemenhub akan Bekukan Operator Transportasi Daring

Kasus pelecehan seksual terhadap penumpang transportasi daring kembali terjadi

Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi.
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengancam akan membekukan operator jasa angkutan daring berbasis aplikasi. Pembekuan ini akan dilakukan jika pihak operator tak mampu menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya.

"Kami akan memberikan peringatan dan evaluasi untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut operasional aplikatornya," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, di Jakarta, Senin (5/11).

Penegasan tersebut disampaikan Dirjen Hubdar Budi Setiyadi terkait dengan beberapa kasus dugaan pelecehan dan tindak pidana yang dilakukan mitra pengemudi Grab Car terhadap penggunanya beberapa waktu lalu. Menurut Budi, tentu tahapannya ketika operator tak mampu menjaga keamanan dan keselamatan penggunanya adalah diawali dengan pembekuan operasi.

Budi mengaku gusar sehingga harus bersikap lebih tegas karena kasus seperti itu sudah berulang kali terjadi. "Saya sudah sering berkomunikasi dengan para operator (Grab dan Go-Jek) dan mereka menjanjikan pembinaan kepada mitra pengemudinya. Tapi buktinya ada kejadian lagi," ujarnya.

Oleh karena itu, Budi menduga kasus pelecehan kembali terjadi akibat pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh operator transportasi daring asal Malaysia tersebut tak menyentuh akar permasalahannya. "Yaitu sistem rekrutmen yang terlalu longgar. Bahkan proses perekrutan pengemudinya mungkin seperti beli 'kucing dalam karung'," kata dia.

Harus serius

Sementara itu, pengamat transportasi dari  Information Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, sepakat kasus pelecehan seksual yang terjadi perlu ditangani secara serius. Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan penyedia jasa angkutan daring dalam menjamin kenyamanan dan keselamatan penggunanya.

"Keselamatan penumpang harus menjadi perhatian utama. Ketika tidak bisa menjamin hal tersebut, publik tentu akan mempertanyakan kemampuan perusahaan penyedia layanannya tersebut," ujar Heru.

Keriuhan kasus pelecehan oleh mitra pengemudi terhadap penumpangnya memang sedang ramai diperbincangkan, bahkan sampai berujung pada tuntutan masyarakat untuk membekukan operasi perusahaan penyedia aplikasi transportasi daring yang menaunginya.

Tuntutan ini berupa petisi daring yang diprakarsai Dewi Mardianti di laman www.change.org dan sudah ditandatangani lebih dari 3.500 orang.

Menurut Heru, munculnya tuntutan pembekuan operasi cukup berdasar, karena kasus pelecehan serupa tak sekali dua kali terjadi. Dalam kurun 2017-2018, kasus pelecehan seksual yang dilakukan mitra pengemudi setidaknya sudah 12 kali terjadi.

"Kalau berulang seperti ini, saya merasa tidak ada upaya serius menangani kasus ini. Penindakan tidak bisa sekadar suspend (penundaan), lalu kejadian lagi. Sebab itu, saya setuju, pemerintah juga perlu melihat kekhawatiran dan tuntutan pengguna," katanya.

Dalam sebulan terakhir, obrolan dan pembahasan kasus pelecehan seksual yang terjadi di transportasi daring berbasis aplikasi memang sedang ramai. Berawal dari curhatan yang dibuat oleh teman si penumpang Grab Car yang menerima pelecehan seksual.

Tulisan curhatan tersebut diunggah oleh @lambe_ojol dan diunggah ulang oleh akun @qitmr di Twitter pada 8 Oktober hingga mendapat tanggapan 5.332 retweet.

Pihak Grab pun menanggapi kasus ini melalui penjelasan di media sosial dan menyampaikan upaya untuk mempertemukan korban pelecehan dengan oknum pelaku.

Sontak penjelasan tersebut mendapat respon luar biasa dari warganet hingga 1.000 kali balasan, yang mayoritas mempertanyakan sikap Grab menangani kasus pelecehan dengan cara yang bisa membuat korban semakin trauma.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement