REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian mengajak semua pihak melokalkan bahan baku industry produk pangan (food and product food/FPF). Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi mengatakan, untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya perubahan kebiasan (habit movement) baik di sisi hulu, usaha tani, maupun sektor paling hilir, yaitu meningkatkan konsumsi produk pangan yang berbahan baku lokal
Industri pangan dan produk pangan khususnya yang berbasis tepung-tepungan saat ini masih banyak menggunakan bahan baku impor, misalnya terigu. Pada 2018, impor gandum dan terigu diperkirakan lebih dari 11 juta ton atau meningkat rata-rata 12,2%/tahun.
Di sisi lain, Indonesia mempunyai potensi besar menghasilkan tepung singkong, jagung dan pati sagu. Produk tepung lokal tersebu dapat dijadikan bahan baku industri FPF. Untuk perubahan usaha tani, dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani.
"Produktivitas singkong misalnya, harus mampu mencapi 50 ton/ha. Dengan produktivitas diatas 50 ton, petani dapat menjual singkongnya sekitar Rp 1200 dan sudah mendapatkan untung besar," kata Agung dalam seminar dan workshop Internasional Plant Industry.
Agung menambahkan, dengan harga singkong kurang dari Rp 1200/ kg, akan dihasilkan tepung mocaf dengan harga sekitar Rp 5 ribu/kg. Harga tersebut bisa bersaing atau minimal sama dengan terigu untuk industri.
"Kita bisa bayangkan, apabila produktivitas singkong lebih dari 50 ton/ha, harga tepung mocaf bisa lebih rendah lagi," ujar Agung.
Melihat peluang tersebut, Agung menantang civitas academica Universitas Jember bisa mendapatkan inovasi dan teknologi budidaya singkong yang mempunyai provitas 80 ton/ha. Sementara itu BKP akan merumuskan kebijakan agar FPF dapat meningkatkan penggunaan komponen bahan baku lokal.
"Dalam kesempatan yang baik ini, saya mengajak semua stakeholder untuk mulai mewujudkan gerakan melokalkan bahan baku lokal," pungkas Agung.