Kamis 18 Oct 2018 13:35 WIB

Harga Bahan Baku Hambatan Ekspor Industri Farmasi Indonesia

Sebagian besar bahan baku industri farmasi masih diimpor

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Seorang petugas merapikan obat-obatan di salah satu apotek (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Seorang petugas merapikan obat-obatan di salah satu apotek (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku, Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto menyebutkan, industri farmasi masih mengalami berbagai tantangan untuk ekspor. Termasuk, masih ketatnya persaingan dengan produk lain di pasar internasional, khususnya produk asal Cina yang dijual dengan harga murah.

Tantangan lain adalah harga bahan baku impor yang naik dari negara asalnya, yakni Cina. Karena masih mengandalkan impor, Vincent menjelaskan, upaya yang dapat dilakukan adalah menaikkan harga jual obat di pasar dalam negeri. "Untuk kenaikannya bervariasi, tergantung tingkat kandungan bahan baku impor dalam produk," tuturnya saat dihubungi Republika, Kamis (18/10).

Upaya lain yang juga tengah dilaksanakan asosiasi adalah meningkatkan ekpsor sembari memanfaatkan kondisi penguatan dolar terhadap rupiah. Sampai saat ini, Vincent mencatat, ekspor masih berkontribusi sekitar Rp 60 triliun atau 20-25 persen dari total omzet industri farmasi. Ditargetkan, pada 2025, ekspor bisa berkontribusi hingga Rp 250 triliun.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya meningkatkan ekspor produk farmasi dan alat kesehatan. Sebab, peluang pasar produk farmasi dan alat kesehatan masih sangat besar dan permintaan produk segmen ini terus meningkat dari masa ke masa.

Pasar produk farmasi  diperkirakan mencapai Rp 100 triliun pada 2020, sementara pasar alat kesehatan mampu menyentuh Rp 13,5 triliun atau naik 10 persen dibandingkan 2017.

Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Marolop Nainggolan menjelaskan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 sebagai bentuk dukungan.

"Salah satu yang menjadi sorotan adalah upaya pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor," ucapnya dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (17/10).

Tapi, Marolop mengakui, masih ada beberapa tantangan dan kendala dalam ekspor produk farmasi dan alat kesehatan. Di antaranya, persyaratan untuk registrasi produk farmasi di negara tujuan ekspor yang semakin sulit dan ketat.

Hal ini disebabkan setiap negara tujuan ekspor berupaya melakukan proteksi, salah satunya dalam bentuk proses perizinan yang memakan waktu lama, bahkan hingga lima tahun.

Tantangan selanjutnya yaitu persaingan harga dengan produsen produk sejenis dari negara lain. Pesaing utama untuk produk segmen ini khususnya datang dari Cina dan India yang dapat memproduksi obat dengan harga sangat murah.

Selanjutnya, terkait bahan baku farmasi produksi Indonesia yang umumnya masih impor dengan komponen mencapai 80 sampai 90 persen. Impor ini disebabkan kurangnya pasokan bahan baku dari dalam negeri.

"Kendala lainnya adalah belum terciptanya harmonisasi regulasi antara kementerian/lembaga terkait dengan berbagai negara tujuan ekspor," tuturnya.

Masalah teknis juga sering kali terjadi pada proses pengiriman. Ekspor produk farmasi seperti vaksin harus dikirim segera dan dalam waktu 24 jam harus tiba di lokasi, sehingga menggunakan mekanisme pengiriman khusus (cold chain) dan kontainer khusus. Hal ini menyebabkan beban pengiriman menjadi mahal terutama ke negara-negara di kawasan yang jauh, seperti ke benua Amerika.

Kendala ini semakin bertambah ketika negara mensyaratkan produk yang masuk harus menggunakan kemasan khusus atau sumber daya setempat. "Selain itu, terkadang timbul permasalahan pembayaran apabila negara pembeli berasal dari negara yang sedang diembargo atau dari negara dengan sistem pembayaran yang belum sempurna," ujar Marolop.

Untuk mengantisipasi berbagai tantangan, Marolop menilai, diperlukan peningkatan penelitian dan pengembangan produk farmasi dan alat kesehatan untuk menciptakan inovasi. Di samping itu, perlu perlindungan kekayaan intelektual (HKI) bagi merek produk Indonesia agar tidak dipalsukan di negara tujuan ekspor.

Tidak kalah penting, diperlukan peran lembaga pembiayaan nasional untuk memberikan fasilitas pembiayaan, penjaminan, dan asuransi untuk kegiatan ekspor produk ini. Untuk meningkatkan pemahaman calon mitra (buyer) diperlukan dukungan promosi, baik dari pemerintah, maupun pelaku usaha.

Marolop menjelaskan, kerja sama antar negara atau wilayah harus terus dilakukan, khususnya dalam hal harmonisasi peraturan (regulatory harmonization) di beberapa forum bilateral, regional, dan multilateral. "Melalui upaya ini, diharapkan negara-negara tujuan ekspor dapat dengan mudah menerima produk farmasi dan alat kesehatan dari Indonesia," pungkas Marolop.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement