Selasa 09 Oct 2018 18:03 WIB

BI Harap Normalisasi Negara Maju Berdampak Minimal

Kuncinya adalah sinergi kebijakan atau koordinasi kerangka kebijakan antarnegara.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Friska Yolanda
Pelantikan Deputi Gubernur BI. Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo membaca sumpah jabatan saat pelantikan Deputi Gubernur BI di Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (18/4).
Foto: Republika/ Wihdan
Pelantikan Deputi Gubernur BI. Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo membaca sumpah jabatan saat pelantikan Deputi Gubernur BI di Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (18/4).

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Bank Indonesia akan mendorong sinergi kebijakan antarnegara dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 guna meminimalisir dampak negatif terhadap negara berkembang. Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, pertemuan tahunan kali ini diwarnai dengan adanya turbulensi global. Sejumlah negara berkembang terdampak hal itu termasuk Indonesia. 

"Persoalan moneter, nilai tukar, dan perdagangan lebih banyak mewarnai isu saat ini," kata Dody di Nusa Dua, Bali pada Selasa (9/10). 

Salah satu pemicu turbulensi tersebut adalah kebijakan normalisasi moneter di Amerika Serikat (AS). Bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) diprediksi akan terus meningkatkan suku bunga hingga mencapai level tiga persen. Sementara, saat ini suku bunga The Fed berada di level 2-2,25 persen.   

Dody mengatakan, negara maju seperti AS dan Eropa akan melakukan kebijakan normalisasi guna menjaga pertumbuhan ekonomi masing-masing. Akan tetapi, dia berharap negara tersebut bisa memperhatikan dampak yang terjadi pada negara berkembang.

"Jadi kata kuncinya adalah bagaimana sinergi kebijakan atau koordinasi kerangka kebijakan antarnegara," kata Dody. 

Sebelumnya, Dody juga menyebut, saat ini terdapat pertumbuhan yang tidak berimbang dalam perekonomian dunia. Hal ini merujuk pada pertumbuhan ekonomi AS yang menguat sementara perekonomian dunia lainnya mengalami perlambatan. 

"Ada pertumbuhan yang uneven. Ada perbedaan pertumbuhan satu negara versus the rest of the world," kata Dody.

Untuk diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen pada tahun ini. Saat ini, kata Dody, kondisi perekonomian global menghadapi tekanan ke bawah. Hal itu terasa tidak hanya di negara dengan kondisi fundamental lemah tapi juga termasuk negara-negara maju di Eropa dan Asia. 

Kecenderungan tersebut mempengaruhi perdagangan dunia lantaran sisi permintaan akan menurun. Hal itu juga akan mempengaruhi harga komoditas dan berdampak pada perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia. 

IMF pun memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,1 persen pada tahun ini. "Tapi 5,1 persen dalam perhitungan mereka itu cukup baik karena masih dalam kisaran di atas 5 persen," kata Dody.

Faktor risiko tersebut, kata Dody juga sudah diproyeksi oleh BI. Oleh karena itu, BI memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan mencapai 5,2 persen. Hal itu sejalan pula dengan proyeksi pemerintah. Meski begitu, proyeksi baik dari pemerintah dan BI berada di bawah target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2018 yang sebesar 5,4 persen. 

"Ketika Gubernur (Gubernur BI Perry Warjiyo) mengeluarkan satu angka itu sebenarnya sudah menghitung risiko ke depan. Kita lihat faktor globalnya sama," kata Dody. 

Baca juga, PE Dunia Dikoreksi, BI: Ada Pertumbuhan yang tidak Imbang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement