REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan. Pasalnya, pelemahan juga dialami oleh mata uang negara-negara berkembang lain.
"Jangan kita lihat kalau Rp 15 ribu sudah kiamat. Kita bandingkan dulu dengan semua negara yang mengalami tekanan depresiasi," ujar Perry saat mengisi seminar di Jakarta, Rabu (3/10).
Perry mengingatkan fenomena perlemahan mata uang ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga negara-negara berkembang lainnya. Hal tersebut terlihat dari depresiasi mata uang yang terjadi di negara-negara seperti Turki, Brasil, Afrika Selatan, India dan Filipina yang memiliki kondisi perekonomian sama seperti Indonesia.
"Tingkat pelemahan rupiah sejak akhir Desember 2017 sampai sekarang 9,82 persen, bandingkan dengan Turki 37,7 persen, Brasil 17,6 persen, Afrika Selatan 13,8 persen dan India 12,4 persen," ujarnya.
Baca juga, Adaro Konversikan Transaksi 17 Miliar Dolar AS ke Rupiah.
Untuk itu, ia menegaskan perlemahan mata uang merupakan fenomena global yang terjadi karena respons pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS serta potensi terjadinya perang dagang.
Perry memastikan salah satu upaya jangka menengah panjang yang bisa dilakukan untuk menahan perlemahan rupiah adalah dengan memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.
Perbaikan neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit tidak terlalu krusial dalam keadaan ekonomi normal, namun menjadi mendesak dalam keadaan penuh gejolak."Ini yang membuat kita tidak bisa dibandingkan dengan Thailand, karena mereka mempunyai surplus neraca transaksi berjalan hingga 54 miliar dolar AS, sehingga mata uangnya relatif stabil," ujarnya.
Perry menyakini perbaikan defisit neraca transaksi berjalan ini dapat membuahkan hasil dan membantu menekan pergerakan rupiah terhadap dolar AS pada 2019.