REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian berupaya mewujudkan target pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai lumbung pangan dunia pada 2045. Kementan menyadari untuk mencapai kedaulatan pangan, terdapat sejumlah tantangan.
“Untuk itu, Pak Mentan selalu mendorong kami untuk berpikir “out of the box”. Setiap tantangan justru diubah menjadi kesempatan yang justru menguntungkan kita dalam upaya meraih kedaulatan pangan,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Andri Boga di Kantor Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (24/9).
Menurut Boga, salah satu persoalan yang membayangi sektor pertanian adalah konversi lahan pertanian. Di sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun industri. Tapi kondisi ini tidak membuat Kementan berpangku tangan.
Melalui Ditjen Tanaman Pangan, kata Boga, Kementan menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Untuk meningkatkan luas areal tanam baru, Kementan tidak lagi terpaku pada lahan irigasi, tapi justru memanfaatkan lahan suboptimal, seperti lahan kering dan rawa.
“Berdasarkan data Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) total lahan rawa pasang surut yang berpotensi menjadi lahan pertanian adalah 3,5 juta hektare dan lahan rawa lebak sebesar 15 juta hektare. Sementara untuk lahan kering yang berpotensi untuk menjadi lahan produktif adalah 24 juta hektare. Lahan tersebut tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung,” ujar Boga.
Ia menambahkan, di tengah kenaikan jumlah penduduk sejak 2014-2018 yang mencapai 12,8 juta jiwa, optimalisasi sumberdaya lahan kering dan rawa menjadi lahan pertanian, diperlukan sebagai strategi kunci meningkatkan produksi pertanian dalam pemenuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya saat ini mencapai 265 juta dan akan terus meningkat setiap tahunnya.
“Optimalisasi lahan rawa dan kering harus dilakukan sehingga kita meletakkan pondasi bagi generasi kita ke depan,” tuturnya.
Selain permasalahan konversi lahan pertanian, pemerintah juga menghadapi permasalahan dampak perubahan iklim. Musim kemarau kali ini misalnya, data Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia akan terus memuncak hingga September 2018.
BMKG menyebutkan terjadi penurunan signifikan curah hujan pada Juni - Agustus 2018 dibandingkan curah hujan 2017 yang lebih fluktuatif. Penurunan terbesar pada Agustus 2018 sebesar 32.21 (mm) sedangkan pada Agustus 2017 sebesar 138.47 (mm).
Menyikapi musim kemarau yang berdurasi lebih panjang kali ini, Kementan menjadikannya sebagai kesempatan baik yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Musim kemarau dinilai sebuah keniscayaan selayaknya tidak menjadi halangan untuk berproduksi.
“Musim kemarau seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena hama lebih sedikit, sinar matahari cukup baik untuk fotosintesis dan proses pengeringan. Jadi kualitas gabah lebih baik, biaya produksi juga bisa ditekan,” kata dia.
Kementan, menurut Boga, optimistis produksi padi di semester dua 2018 akan maksimal. Kemarau yang terjadi saat ini memang dapat berdampak terhadap ancaman kekeringan pada pertanaman padi yang masih belum panen, bahkan berpotensi menyebabkan puso (gagal panen). Namun lahan yang terkena dampak kekeringan menurut data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, kecil jika dibandingkan dengan luas tanam padi yang ada.
“Jika dibandingkan dengan luas tanam 2018 periode Januari-Agustus seluas 10.079.475 hektar, dampaknya masih kecil, yaitu 1,34% atau 135.226 hektar. Itu sudah termasuk yang terkena puso atau gagal panen yang hanya 0,26% atau 26.438 hektar dari total luas tanam," ujar Boga.
Angka Ramalan (ARAM) produktivitas padi dari realisasi tanam sepanjang Januari hingga Agustus 2018 seluas 10.079.475 ha, adalah 51,92 kw/ha. Maka perkiraan produksi padi adalah sebanyak 49.471.434,37 ton. Artinya, potensi kehilangan hasil (gabah) dengan luas terkena dampak kemarau 135.226 ha, dan di dalamnya termasuk puso 26.438 ha hanya sebesar 0,63% dari perkiraan produksi atau sebesar 314.932,43 ton.
Dari angka di atas, bisa disimpulkan jika 49.471.434,37 Ton (ARAM produksi Januari - Agustus 2018) dikurangi potensi kehilangan hasil gabah Januari - Agustus 2018 sebesar 314.932,43 ton, maka masih ada produksi sebesar 49.156.501.94 ton.
Rendahnya dampak puso pada tahun ini sudah diantisipasi sejak awal melalui bantuan pompa air ke petani serta kegiatan pembangunan Embung, Dam Parit, Long Storage, Pompanisasi, dan Perpipaan yang dapat menambah pasokan air bagi tanaman terutama di musim kemarau. Selain itu, perbaikan saluran irigasi tersier juga dilakukan menjamin volume air cukup sampai pada lahan sawah yang berada di ujung saluran.
Dalam rangka mempertahankan produksi pertanian khususnya padi, dalam menghadapi musim kemarau ini, Kementerian Pertanian telah menurunkan tim khusus ke lokasi-lokasi kekeringan di wilayah sentra produksi padi. “Pak Menteri memberikan arahan kepada kami seluruh pejabat Kementan harus turun tangan untuk meyakinkan bahwa kekeringan bukan halangan tetapi kesempatan. Kami wajib membantu petani mencari sumber air, mempertahankan pertanaman, dan bisa tetap panen,” tutur Boga.