REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah telah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 atau PPh impor untuk 1.147 komoditas. Hal itu merupakan upaya pemerintah untuk bisa mengurangi defisit neraca dagang dan defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD).
Meski begitu, menurut pengamat ekonomi dari Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi, dampak kebijakan ini pada neraca dagang dan transaksi berjalan masih terbatas. Hal ini lantaran porsi barang-barang tersebut terhadap total impor relatif kecil.
"Seharusnya bisa turunkan impor dan CAD, namun tidak banyak," kata Eric ketika dihubungi Republika, Kamis (6/9).
Eric mengatakan, dari awal tahun sampai Agustus 2018, nilai impor dari 1.147 barang tersebut bernilai sekitar 5 miliar dolar AS. Angka itu hanya sekitar 4 hingga 5 persen dibandingkan total impor Indonesia.
Selain berusaha mengendalikan impor barang konsumsi, pemerintah juga telah menerbitkan kebijakan penggunaan bahan bakar biodiesel sebesar 20 persen (B20), menggenjot devisa pariwisata, dan upaya menarik devisa hasil ekspor. Jika upaya tersebut digabung, menurut Eric, dampaknya pada CAD tahun ini juga belum signifikan karena waktu tersisa hanya empat bulan.
Eric memperkirakan, dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut akan lebih terasa pada tahun depan. "Untuk tahun ini proyeksi saya CAD sekitar 2,3 sampai 2,5 persen dari nominal PDB," kata Eric.