Sabtu 28 Jul 2018 04:35 WIB

Menggelorakan Lagi Gaya Hidup Menabung ke Generasi Milenal

Kaum milenial sering kali tak berpikir panjang dalam mengeluarkan pendapatannya

 Sebuah stiker keikutsertaan menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu masuk salah satu bank di Jakarta, Rabu (24/6).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sebuah stiker keikutsertaan menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu masuk salah satu bank di Jakarta, Rabu (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH ERIK PURNAMA PUTRA

Selama ini, ada anggapan bahwa generasi milenal sebagai kelompok yang sangat konsumtif. Mereka memang dikenal sebagai kaum yang tidak dapat menahan dari dari berbagai godaan, khususnya barang belanjaan. Selain suka jalan-jalan dan nongkrong di kafe untuk menikmati suasana, generasi milenial juga dicap kurang mampu mengatur keuangan sendiri.

Pun keberadaan toko daring yang dengan mudah memajang barang-barang dengan tawaran diskon, diyakini memicu mereka semakin mudah menggerakkan jempolnya untuk bertransaksi. Tinggal klik, bayar, barang langsung dikirim. Mereka juga sangat senang liburan mengunjungi tempat-tempat Instagramable, yang itu tentu membutuhkan biaya.

Realita itu diperkuat dengan pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 yang menyebut, terjadi perubahan pola belanja di masyarakat akibat era digital. Masyarakat sekarang ini lebih senang menghabiskan uangnya untuk berwisata daripada berbelanja. Nah, mayoritas generasi milenal yang merupakan pecandu gawai dan kerap memamerkan segala aktivitas mereka di media sosial (medsos) penyumbang terbesar kelompok masyarakat yang suka berwisata.

Anggapan bahwa masa muda wajib menikmati hasil jerih payah membuat generasi milenial tidak berpikir panjang dalam mengeluarkan pendapatannya. Mereka kerap terlena karena dengan mudahnya mengeluarkan duit untuk menuruti keinginannya, bukan kebutuhannya. Pola konsumtif itu ternyata bukan sebuah langkah bijak dalam mengelola keuangan. Pasalnya, saat ini keputusan menyimpan uang atau menabung bukanlah sebuah pilihan populer. 

Padahal, dengan memiliki tabungan maka sewaktu-waktu ketika ada kebutuhan mendadak yang perlu dipenuhi, mereka memiliki opsi mengambilnya di bank atau cukup melalui ATM. Hal-hal kecil yang kadang tidak disadari itu bisa membuat generasi milenal terjerat dalam pola konsumtif yang tidak menguntungkan masa depan mereka.

Kenyataan itu memicu perlunya sebuah gerakan untuk mengingatkan masyarakat agar menabung menjadi pilihan terbaik dalam kondisi ekonomi yang sedang melambat. Gerakan menabung perlu disosialisasikan secara masif agar mampu menggerakkan hati masyarakat, khususnya generasi milenial. Selama ini, budaya menabung seolah luntur di masyarakat.

Penulis jadi teringat dengan seruan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sempat mengkampanyekan gerakan "Ayo Menabung" pada 2016. Jokowi menuturkan, memang perlu ditumbuhkan kembali budaya menabung di masyarakat. Menabung tidak hanya di bank, melainkan juga bisa di produk jasa keuangan lainnya. 

Selama ini, masih sedikit masyarakat yang mengenal ragam produk dan jasa keuangan yang bisa dijadikan sarana untuk menabung atau investasi, selain bank. Padahal, ada lembaga jasa keuangan formal lain yang siap mendukung masyarakat yang ingin menempatkan dananya untuk kepentingan investasi.

Belum lagi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki kewenangan menjaminan nilai tabungan sampai Rp 2 miliar. Sehingga, masyarakat tidak perlu lagi khawatir seumpana uang tabungannya lenyap, karena sudah dijamin lembaga berwenang.

Minat menabung rendah

Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016, rasio menabung terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) di negeri ini masih relatif rendah, yaitu 31 persen. Angka itu sangat jauh dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura 49 persen, Filipina 46 persen, atau Cina 49 persen.

Kondisi itu bisa jadi dipengaruhi tingkat akses masyarakat ke lembaga keuangan formal yang berdasarkan data Bank Dunia pada 2014, berada di kisaran 36,1 persen. Lagi-lagi angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Rendahnya rasio itu menunjukkan menabung bukan menjadi pilihan menarik bagi masyarakat luas. Memang pemahaman masyarakat terhadap jasa keuangan formal masih perlu ditingkatkan.

Bahkan, di beberapa wilayah pelosok negeri, sepertinya masyarakat hanya mengetahui bank menjadi satu-satunya instansi tempat menyimpan uang. Padahal, banyak pilihan bagi mereka yang ingin menyimpan uang untuk sekaligus melakukan investasi yang memberikan imbalan dengan jumlah menjanjikan.

Karena itu, perlu digencarkan sosialiasi agar masyarakat luas semakin mengenal ragam produk dan jasa keuangan untuk meningkatkan likuiditas tabungan domestik. Padahal, dengan banyaknya tabungan masyarakat maka bank maupun lembaga jasa keuangan bisa mendapatkan dana murah untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan untuk mendukung program pembangunan. Bank tidak perlu mengeluarkan surat utang untuk meraih dana segar dengan intensif bunga dalam jumlah besar. 

Dengan menabung maka masyarakat dapat dikategorikan turut memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan bangsa dan negara. Karena kalau pembangunan terwujud maka kesejahteraan masyarakat dapat tercipta. Selain itu, juga untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat yang selama ini terus digadang-gadang, namun tak kunjung terealisasi.

Dalam pidatonya pada 2 Oktober 1995 tentang Pencanangan gerakan Keluarga Sejahtera Sadar Menabung, Presiden ke-2 RI Soeharto mengatakan, bangsa yang sedang membangunan memang harus giat menabung, dengan menyisihkan sebagian penghasilannya. Menabung itu hakekatnya adalah menghimpun kekuatan dan sikap hidup yang sangat diperlukan bagi bangsa yang sedang membangun. Soeharto pun mengajak setiap keluarga untuk menabung secara teratur.

"Menabung juga dapat menjadi pemacu kerja keras kita semua. Apabila kebiasaan menabung ini menjadi bagian dari kehidupan kita, saya percaya pembangunan kita akan lebih cepat dan pinjaman dari bangsa-bangsa lain dapat kita kurangi,” demikian pidato Soeharto.

Penulis jadi teringat ketika masih duduk di kelas sekolah dasar (SD), guru kerap kali menganjurkan para siswanya untuk menyisihkan uang untuk ditabungkan. Sepertinya, anjuran guru itu merupakan program pemerintah pada masa Orde Baru yang tidak dilanjutkan lagi setelah era Reformasi bergulir. Padahal, program bagus seperti itu layak diteruskan karena mendidik masyarakat sejak dini untuk bisa mengatur keuangan dengan baik.

Dengan memiliki tabungan, siswa diajak untuk mengelola keuangan sendiri dan memiliki simpanan yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk keperluan membeli alat sekolah. Meski tabungan itu tidak dilakukan di bank, melainkan di pegang guru, namun pengenalan kampanye menabung sejak dini setidaknya bisa memberikan pandangan baru bagi remaja. Karena kelak, ketika dewasa mereka pasti memiliki memori manis tentang itu dan bisa dijadikan dorongan untuk selalu menyisihkan uangnya secara ketat. 

Sudah saatnya bagi pemerintah untuk menggelorakan lagi gerakan menabung di masyarakat sebagai bentuk kontribusi nyata terhadap kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Bila perlu, menabung harus dijadikan gaya hidup. Karena kalau generasi milenial tidak diajarkan untuk gemar menabung dan menjadi generasi konsumtif maka hal itu akan merugikan perjalanan bangsa ini. Dampaknya pembangunan ke depannya bisa terganggu dan kesejahteraan masyarakat semakin sulit diwujudkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement