REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi yang stagnan saat pembangunan infrastruktur dinilai menjadi salah satu faktor penting rasio gini atau tingkat ketimpangan masyarakat tidak turun signifikan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka ketimpangan atau rasio gini turun dari 0,391 per September 2017 menjadi 0,389 per Maret 2018. Sementara angka kemiskinan yang turun menjadi 9,82 persen dinilai tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil masyarakat. Karena banyaknya bantuan sosial yang disalurkan, namun rendahnya peningkatan produktivitas masyarakat ditandai dengan ketimpangan masyarakat yang masih besar.
Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus menjelaskan, salah satu faktor kurangnya produktivitas masyarakat dalam penghasilan mereka adalah kurangnya lapangan pekerjaan lantaran pelaku usaha yang menahan diri untuk ekspansi usaha. Penyebabnya, pelaku usaha pesimistis kalau infrastruktur dapat mendorong kemajuan usaha mereka.
"Infrastruktur seharusnya perbaikan dalam hal investasi. Karena perbaikan infrastruktur ditunggu-tunggu oleh masyarakat dan investor. Harusnya ada optimisme dunia usaha. Tapi yang terjadi adalah penurunan optimisme," ungkap Ahmad kepada Republika.co.id, Rabu (18/7).
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada kuartal I-2018 sebesar 106,28, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya kuartal IV-2017 yang sebesar 111,02. Hal ini menunjukkan kondisi bisnis secara umum masih tumbuh, namun, optimisme pelaku bisnis berkurang.
Ahmad menjelaskan, dampak dari infrastruktur pada perekonomian baru dapat dirasakan dalam waktu sekitar 5 hingga 10 tahun, bergantung pada upaya pemerintah melakukan percepatan atau mengoptimalkan sumber daya yang ada. Apabila sumber daya infrastruktur secara lambat dikonversi ke sektor produktif, maka return-nya juga akan lambat dirasakan.
Pesimisme dunia usaha ini menyebabkan pelaku usaha menahan diri untuk ekspansi. Hal ini menyebabkan tidak ada penambahan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja.
"Akibatnya penyerapan tenaga kerja tidak optimal, pertumbuhan output industri jadi kurang optimal, sampai ke ekspor juga tidak optimal. Kita lihat data ekspor Juni 2018 turun," kata Ahmad.
BPS mencatat neraca perdagangan pada Juni 2018 surplus 1,74 miliar dolar AS. Angka tersebut disumbang oleh ekspor yang turun 19,8 persen dibanding bulan sebelumnya menjadi 13 miliar dolar AS, impor yang turun lebih dalam sebesar 36,27 persen dibanding bulan sebelumnya menjadi 11,26 miliar dolar AS.
"Surplus ini tidak sehat karena ekspornya turun dan impornya juga turun. Surplus yang sehat harusnya ekspor naik," tambah Ahmad.
Pesimisme dunia usaha lantaran pembangunan infrastruktur tidak menopang kebutuhan para pelaku usaha dalam bidang logistik. Biaya transportasi dan logistik di Indonesia sangat mahal. Namun infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah yang seharusnya dapat menekan biaya logistik, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan pelaku usaha.
"Misalnya yang dibutuhkan pelaku adalah ruas jalan raya diperlebar atau pelabuhannya diperbesar, bukan hanya di Jakarta tapi juga di daerah lain, atau dwelling time ditekan lagi," katanya.
Buktinya, dari sekian banyak angkutan barang yang ada, hanya sekitar 10-15 persen yang menggunakan jalan tol. Selain tarif yang dianggap masih mahal, juga rute dan fasilitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan pengemudi angkutan barang.
"Seperti Tol Trans Sumatera. Jalannya sangat sepi, truk kelapa sawit tidak mau lewat sana. Karena selain bayar tol nya mahal, di sepanjang jalan tidak banyak warung seperti di jalan biasa," jelas Ahmad.
Oleh karena itu ia berharap pemerintah dapat melakukan evaluasi pembangunan infrastruktur. Bagaimana pemerintah dapat memilih dan memilah yang benar-benar penting untuk pelaku usaha. Utamanya terkait dengan ongkos logistik sektor industri agar bisa lebih murah. Karena sektor industri ini penting dan memiliki kontribusi besar di perekonomian.