REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah Indonesia perlu bersikap hati-hati dalam menyikapi tensi dagang global. Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menyampaikan Indonesia sebaiknya tidak tergesa-gesa merespons kebijakan perdagangan AS dengan tindakan balasan atau retaliasi.
"Upaya Indonesia melakukan retaliasi atau tindakan balasan kebijakan perdagangan ke AS sepertinya masih jauh. Diplomasi adalah jalan lebih baik dengan bernegosiasi terlepas nanti hasilnya seperti apa karena kita masih memerlukan ekspor ke AS," ujar Eko dalam diskusi publik Indef bertajuk "Perang Dagang dan Guncangan Pasar Keuangan" di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Eko menyebut langkah reaktif seperti yang dilakukan Cina belum tentu cocok diterapkan Indonesia karena perbedaan kapasitas ekonomi. Eko menyampaikan Cina bisa melakukan aksi balasan karena punya modal untuk melawan AS.
"Sementara kita mungkin masih dalam proses pembangunan untuk lebih memperkuat kemandirian ekonomi, memperkuat pertumbuhan ekonomi itu sendiri," ucap Eko.
Menurut Eko, dalam konteks ekonomi, aksi retaliasi justru bisa merugikan Indonesia. Hal ini berbeda dari konteks politik yang membuat kesan gagah dalam melakukan aksi retaliasi.
"Dari konteks ekonomi, para pelaku ekonomi bisa terkena dampak kalau kita reaktif menyikapi kebijakan Trump," sambung Eko.
Eko mengingatkan neraca perdagangan Indonesia dengan AS selama ini cenderung surplus. Oleh karena itu, Eko menilai Indonesia tetap harus menjaga hubungan baik dengan AS.
"Menurut saya Indonesia itu masih tetap memerlukan pasar AS begitu, meski kalau dilihat dari persentase ekspor kita ke AS hanya 10-11 persen. Namun demikian, karena ini adalah negara dengan komposisi mitra dagang terbesar kedua setelah Cina," lanjut Eko.
Dengan PDB AS yang 19 kali lipat dari Indonesia, Eko menyebut negara tersebut sebagai pasar yang potensial. Eko mendorong pemerintah untuk menjalin kerja sama yang lebih menguntungkan bagi Indonesia dengan AS untuk jangka panjang.
"Tinggal bagaimana nanti hubungan dagang yang terjadi dengan AS itu tingkat ketergantungan atau dependensinya itu bisa kita kurangi atau kita diversifikasikan," ucap Eko.
Eko juga menyinggung posisi strategis Cina sebagai mitra dagang Indonesia. Eko menyampaikan PDB Cina terbesar kedua setelah AS dan puluhan kali lipat dibandingkan dengan PDB Indonesia.
"Ekonomi Cina itu menyumbang 7,72 persen dari PDB global. Makanya, baik AS maupun China ini sebetulnya memang masih dan akan tetap kita perlukan sehingga langkah-langkah kita sebagai negara yang tidak sebesar mereka itu juga harus tepat," kata Eko.
Muhammad Nursyamsyi