REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, produksi rokok mengalami penurunan tiap tahunnya. Hal tersebut terjadi setelah pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, yang pada 2018 ini naik sebesar 10,04 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
"Tahun 2015 itu Rp 348 miliar, 2016 Rp 341,7 miliar , tahun 2017 Rp 336,3 miliar. Kalau kita lihat pola produksi yang menurun dari minus 1,8 (di 2016), terus 2017 minus 1,58 dibanding tahun sebelumya (2016)," kata Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BLF) Kementerian Keuangan Nasruddin Djoko Surjono di Hotel Ibis Jakarta Tamarin, Jakarta Pusat, Rabu (30/5).
Kenaikan tersebut juga menurunkan konsumsi rokok. Namun, penurunan tersebut tidak terlalu signifikan khususnya bagi kalangan remaja dan anak-anak.
"Tapi memang privalensi anak muda naik. Tapi kalau secara umum turun. Karena perempuan turun ya, privalensi konsumsi perempuan turun. Tapi privalensi anak-anak naik," katanya.
Oleh karena itu, diperlukan pengendalian lebih terhadap remaja dan anak-anak yang mengkomsumsi rokok. Terlebih, remaja dan anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Dengan harga rokok saat ini yang berada di kisaran Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per batangnya, masih bisa dijangkau khususnya oleh anak-anak.
"Per batang itu yang harus kita naikkan. Pengendalian memang harus dilakukan bersama-sama.Intinya pengendalian ya memang harus dikendalikan," katanya.
Pengendalian akan dilakukan dengan menaikkan kembali tarif cukai rokok di tahun depan. Namun, hal tersebut masih dalam pembahasan oleh Kemenkeu, berapa persen tarif cukai akan dinaikkan.
"Saya apresiasi memang kebijakan cukai, kita melakukan kenaikan itu secara bertahap. Dan kenaikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir diatas inflasi plus pertumbuhan ekonomi. Target Inflasi sekarang 3,2 persen. Harusnya naikin cukai diatas inflasi, itu yang kita lakukan," katanya.