Senin 21 May 2018 17:07 WIB

Hasil Audit BPK: Produksi Surplus, Impor Beras Tetap Jalan

Tidak adanya data tunggal pangan menjadi sumber impor beras.

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Impor Beras
Foto: Foto : MgRol_94
Ilustrasi Impor Beras

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rizal Djalil, menyebut persetujuan impor beras yang diterbitkan pemerintah sepanjang 2015 hingga semester satu 2017 tidak sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri.

Berdasarkan hasil audit BPK, ia memaparkan, pada 2016 kebutuhan beras nasional sebanyak 46,142 juta ton. Sementara itu, produksi dalam negeri mencapai 46,188 juta ton. Artinya, ada selisih surplus sebanyak 46 ribu ton.

Namun, pada tahun tersebut pemerintah justru menerbitkan persetujuan impor sebanyak 1.000.200 ton. "Penetapan angka impor tidak sepenuhnya akuntabel," ujar Rizal dalam sebuah forum diskusi yang membahas ketahanan pangan di kantor BPK, Senin (21/5).

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa tidak adanya data tunggal terkait pangan menjadi sumber utama permasalahan impor. Dalam data konsumsi, misalnya, hingga 2013 angka konsumsi per kapita per tahun yang digunakan pemerintah adalah 139,15 kilogram.

Sementara itu, dalam prognosis kebutuhan dan ketersediaan pangan 2014 dan 2015 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 124,89 kilogram per kapita per tahun.

Selain itu, lanjut Rizal, data luas lahan padi juga tidak akurat. Ada perbedaan angka sebanyak 300 ribu hektare antara luas lahan sawah yang digunakan dalam perhitungan produksi padi dan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Kondisi ini menyebabkan luas panen yang dilaporkan ke BPS overstated," kata Rizal.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, ada empat aspek yang harus dipenuhi untuk menghentikan polemik impor. Pertama, harus ada satu data pangan yang valid sehingga dapat dijadikan rujukan bagi semua pemangku kepentingan terkait.

Kedua, impor baru boleh dilakukan apabila produksi nasional tidak mencukupi sehingga berpotensi terjadi lonjakan harga. Ketiga, impor harus dilakukan secara transparan agar tidak menimbulkan spekulasi.

Terakhir, kebijakan impor tidak boleh mengancam kesejahteraan petani. "Kalau impor dilakukan saat panen, itu bisa menghancurkan harga di petani," kata Bambang.

Sementara itu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, yang ditemui di lokasi yang sama, enggan mengomentari kebijakan tambahan impor sebanyak 500 ribu ton yang kembali dikeluarkan pemerintah. Amran mengatakan, pihaknya sedang fokus menambah produksi.

Namun begitu, ia memastikan bahwa stok pangan dalam posisi yang aman. "Kami sudah siapkan stok 20-30 persen lebih tinggi untuk Ramadhan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement