REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bisa memberikan insentif untuk mendorong ekspor di tengah pelemahan nilai rupiah. Insentif yang diperlukan saat ini adalah pembebasan pajak tertentu bagi industri yang berorientasi ekspor.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhisthira mengatakan, pembebasan pajak ini bisa dengan tax holiday atau tax allowances PPN, pengurangan bea masuk untuk bahan baku atau menghapus bea keluar beberapa produk.
"Idenya mirip di era Orde Baru keluarkan Paket 87 dan Pakto 88," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/5).
Ia menjelaskan, pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987 tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap bahan baku industri tertentu, seperti tekstil, kapas dan besi baja. Dengan begitu, harga bahan baku industri berorientasi ekspor bisa lebih terjangkau.
"Ujungnya harga produk ekspor Indonesia bisa kompetitif di pasar global," ujar dia.
Pasca lahirnya paket 87 dan 88 di era orde baru, ia melanjutkan, ekspor langsung naik rata-rata sebesar 12 persen per tahun hingga jelang krisis pada 1998. Perekonomian nasional pun selalu tumbuh di atas 6,5 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,1 persen pada 1990 dan 6,6 persen pada 1991.
Namun perlu diperhatikan bahwa insentif fiskal tidak bisa berdiri sendiri. Itu artinya, pemerintah tetap perlu melanjutkan reformasi birokrasi di kepabeanan sehingga proses ekspor impor lebih cepat. Menurutnya, pemerintah juga perlu mempercepat proses pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan penurunan biaya logistik.