Jumat 27 Apr 2018 13:26 WIB

Dam Parit Tingkatkan Produktivitas Sawah Tadah Hujan

Keberadaan dam parit terbukti meningkatkan penghasilan petani.

Red: EH Ismail
Dam parit.
Foto: Humas Balitbangtan.
Dam parit.

REPUBLIKA.CO.ID, Kendala utama bercocok tanam di lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air, terutama di saat musim kemarau. Petani hanya bisa menanam satu kali saja dalam setahun di musim hujan. Sedangkan di musim kemarau, lahan terlantar (bera) karena tidak ada air. Teknologi budidaya padi lainnya, seperti teknik irigasi, varietas, dan pemupukan juga sulit berkembang.

“Sehingga lahan tadah hujan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup petani,” kata Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Profesor Dedi Nursyamsi.

Dedi menjelaskan, untuk mencapai kedaulatan pangan yang diamanatkan dalam nawacita, pemerintah telah mengeluarkan Inpres RI Nomor 1/2018 tentang Percepatan Penyediaan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air Lainnya. Inpres ini mengamanatkan agar embung kecil dan bangunan air lainnya, termasuk dam parit, segera dibangun dengan anggaran dari dana desa.

“Kementerian Pertanian juga mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) kepada kabupaten/kota di seluruh Tanah Air untuk membangun embung, dam parit, longstorage, dan lain-lain sehingga produksi pangan meningkat,” kata Dedi.

Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) Dr Harmanto mengatakan, untuk mengatasi sulitnya air di musim kemarau, saat ini Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan teknologi sederhana, mudah, dan murah, yaitu dam parit (bendung sungai kecil).

Dam parit menjadi solusi efektif untuk lahan sawah tadah hujan. Apalagi, banyak sungai-sungai kecil berordo 3 atau 4 yang berada di sekitar lahan pertanian belum dimanfaatkan secara maksimal.

“Air sungai mengalir begitu saja ke laut dan tidak mampir dulu ke lahan petani. Ini mubazir,” kata Harmanto.

Harmanto menjelaskan, dam parit yang dilengkapi teknologi budidaya lainnya, seperti varietas, teknik irigasi hemat air, pemupukan, dan lain-lain bukan hanya meningkatkan indeks pertanaman dari IP 100 menjadi 200 atau 300, melainkan juga bisa meningkatkan produktivitas padi dari 4 menjadi 6 ton/ha gabah kering giling (GKG). “Selain itu, di musim kemarau kedua yang biasanya terjadi pada Juli-Oktober setiap tahunnya, petani masih bisa menanam jagung dengan produktivitas 6 ton per hektare,” ujar Harmanto.

Ketua Kelompok Tani di Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan Karaeng Ngemba mengatakan, petani Tompobulu sangat senang dengan adanya dam parit. “Kami bisa menanam padi dua kali dan jagung atau kedelai sekali dalam setahun,” kata dia.

Menurut Ngemba, sejak dulu petani di Tompobulu hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun. “Tanam padi kalau musim hujan saja.”

Hal itu diamini Samsudin, penyuluh pertanian lapangan (PPL) di daerah tersebut. Menurut Samsudin, di musim kemarau, lahan pertanian di Tompobulu pasti kering kerontang lantaran tidak ada air.

Syamsudin, petani lainnya di Desa Kombo, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Toli-toli, Provinsi Sulawesi Tenggara menyatakan, setelah ada dam parit di daerah mereka, petani bisa menanam padi dua sampai tiga kali dalam setahun.

Mantri Tani Kecamatan Dampal Selatan Suwadi mengatakan, dam parit ini dengan debit sungai rata-rata 900 liter per detik bisa mengairi sawah seluas 454 hektare dengan produktivitas sekitar 6 ton/ha.

Danramil Kecamatan Dampal Selatan Kapten Samuel mengatakan, kerja sama petani, penyuluh, dan TNI dengan bergotong royong telah berhasil membangun dam parit di Dampal dengan dukungan dana dari Kementerian Pertanian.

Peneliti Balitklimat Ir Kurmen Sudarman MS mengatakan, pendapatan petani di Tompobulu dalam setahun awalnya hanya sekitar Rp 18 juta per hektare dengan harga GKG Rp 4.500/kg. Setelah ada dam parit, maka pendapatan petani meningkat menjadi Rp 78 juta/ha dengan kondisi harga jagung pipilan kering Rp 4.000/kg.

“Pendapatan mereka meningkat lebih dari empat kali lipat,” kata Kurmen.

Dengan demikian, Kurmen melanjutkan, dam parit Tompobulu yang bisa mengairi lahan 100 hektare berpotensi menghasilkan pendapatan petani mencapai Rp 7,8 miliar per tahun. “Padahal, biaya pembuatannya hanya sekitar Rp 150 juta,” kata Kurmen.

Ahli hidrologi Balitbangtan yang saat ini menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru, Ir Hendri Sosiawan MSc mengatakan, keuntungan petani dari adanya dam parit di Kombo jauh lebih besar lagi. Dam parit Kombo, kata dia, dapat meningkat kan IP dari 150 menjadi 250 untuk lahan sawah seluas 454 hektare.

Dengan demikian, maka dampak dam parit dapat meningkatkan keuntungan dari Rp 18 miliar per tahun menjadi Rp 30 miliar per tahun. “Ini artinya pendapatan petani Kombo meningkat hampir dua kali lipat,” kata Hendri. (Harmanto/Balitbangtan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement